Langsung ke konten utama

Gardu

Anak-anak kumpul di gardu. Saat akan difoto mereka mengacungkan jari membentuk simbol V (victory) yaitu simbol kemenangan atau perdamaian.

Gardu memunyai dua makna. Pertama, gardu ronda (tempat warga berkumpul ketika melakukan kegiatan menjaga siskamling atau kalau di desa di Pulau Jawa disebut cakruk karena itu ada istilah cakrukan). Kedua, gardu listrik (bangunan kecil tempat distribusi listrik).

Pagi tadi kami menggotong gardu ronda dipindah-lokasikan dari pojokan rumah kosong ke area pinggir perumahan dekat kebun warga. Di perumahan kami ada beberapa gardu ronda dibangun permanen dengan lantai keramik, tembok bata diplester, diaci, dan dicat.

Bahkan ada yang dilengkapi dengan pesawat televisi, dispenser, dan kulkas. Dengan begitu saat ronda bisa sambil bikin kopi atau es dan menonton TV. Biasanya siapa yang dapat giliran ronda sudah terjadwal pada hari tertentu dan harus dijalankan dengan taat.

Tetapi, ada kelonggaran semacam dispensasi bagi yang berhalangan dengan kompensasi membayar semacam denda atas ketidakhadirannya. Hal semacam begitu biasanya sudah disepakati dengan penuh kesadaran walaupun tidak dibuat peraturan tertulis secara resmi.

Nah, gardu ronda yang kami gotong pagi tadi masih merupakan bangunan berkonstruksi kayu beratap asbes. Karena itulah bisa kami pindahkan. Mengapa gardu dipindahkan? Karena rumah tempat semula kabarnya akan dibangun oleh si empunya rumah.

Kemudian berkaitan dengan hajat pemilu 14 Februari (sepuluh hari lagi), di lokasi tersebut akan dijadikan tempat pemungutan suara (TPS). Panitia pemungutan suara (PPS) perlu menyiapkan tenda dan kursi agar calon pemilih tidak kepanasan atau kehujanan.

Walaupun sama-sama dilangsungkan satu hari, pesta demokrasi tentu tidak sama seperti pesta pernikahan. Karena itu, tenda pemilu hanya sederhana saja tanpa hiasan seperti tenda pesta pernikahan. Hanya sekadar untuk pelindung panas atau hujan bagi warga pemilih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...