Langsung ke konten utama

Nyong Ora Kulino

“Kenapa nggak lewat ATM aja, Pak?,” Tanya teller. “Nggak biasa, Mbak,” jawab saya sekenanya. Ketika tadi ke bank hendak mentransfer duit yang saya tarik di ATM dari bank “Nah Loe” kemudian ke bank “XYZ” untuk mentransfernya melalui antrean.

Ketika menjawab nggak biasa kepada mbak teller itu, saya jadi ingat lirik lagu Alda Risma yang berjudul “Aku Tak Biasa” yang secara iseng dipelesetkan menjadi nyong ora kulino oleh pelawak Srimulat. Ya, yang terbiasa saya lakukan di ATM adalah tarik tunai.

Ketika menunggu antrean tadi, saya lihat ada ibu-ibu berulang kali mentransfer duit di bilik ATM tepat di sebelah tempat saya duduk. Jadi terpikirkan, eh… iya, kenapa nggak lewat ATM saja daripada ngantre lama, mana lampu pake byar-pet berulang kali.

Dahulu pernah sekali nyoba transfer melalui ATM. Sesudahnya tidak pernah lagi mentransfer duit tunai, kebanyakan transfer antarbank lewat ATM sewaktu anak-anak masih kuliah. Setelah mereka bekerja dan bergaji, gantian mereka yang mentransfer.

Anak-anak kami karena milenial dan Gen Z, mereka berdua pengguna m-Banking sehingga untuk transfer atau membayar barang belanjaan di market place atau gofood, cukup jempol jari mereka klak-klik di layar ponsel beres semua urusan dalam sekian detik.

Old generation sekelas baby boomers kayak saya sudah beruntung berani nyolokin ATM. Ada lho yang lebih parah dari saya, ambil gaji pensiun masih cara manual melalui teller bank. Karena pernah trouble di bilik ATM, sejak itu nggak berani lagi nyolokin ATM.

Padahal, lumayan ribet. Mesti bawa buku tabungan dan KTP, menambah kerja teller memfotokopi itu semua lalu menyelesaikan transaksi. Tetapi, karena terbiasa begitu sepertinya mereka nggak juga merasa ribet. Ya, semua bergantung bagaimana kebiasaan.

Beruntung semua kantor bank ada genset, jadi saat jaringan lampu milik PLN mati, kegiatan transaksi di bank nggak ikut-ikutan mati. Yang sial tentu ATM di pertokoan yang tidak ada gensetnya, jaringan listrik dari PLN mati, ikut mati juga ATM tersebut.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...