Langsung ke konten utama

Komeng Memang Uhuy

Foto Alfiansyah alias Komeng yang nyelenéh justru memantik rasa terpincut masyarakat Jawa Barat untuk mencoblosnya. (foto: bbc.com)

Komeng Anda tahu kan? Itu lho, si Uhuy. Ia jadi calon DPD dari Provinsi Jawa Barat. Ia begitu viral karena raih suara dukungan yang melebihi 1,5 juta pemilih. Di tataran pemilu legislatif tidak terlampau gegap gempita dan masyarakat tidak begitu peduli apakah caleg yang “membeli” suaranya terpilih atau tidak.

Pasalnya, pemilu lima tahun sekali dianggap hal yang mainstream. Caleg incumbent meskipun “membeli” suara masyarakat, tak urung tersingkir oleh caleg yang fresh. Contoh sederhana adalah munculnya Komeng sebagai calon DPD dari Jawa Barat yang anti mainstream melalui tampilan foto yang nyelenéh.

Justru tampilan foto yang nyelenéh itu membuat warga Jawa Barat terpincut untuk mencoblosnya, maka babak belurlah tubuh Komeng kena tusuk paku di sana sisni. Fenomena ini memunculkan pandangan bahwa pemilu tidak ubahnya panggung pertunjukan yang menghibur dan melahirkan ekstase tersendiri.

Entah kenal secara dekat atau tidak, bila “mengenal” calon adalah seorang pesohor (artis/aktor, sineas, komedian), maka spontanitas ketertarikan muncul entah dipicu tampilan foto yang nyelenéh seperti Komeng atau yang formal berjas berdasi, itu yang membuat banyak dari mereka akhirnya ke Senayan.

Calon legislatif (DPRD kabupaten/kota, provinsi, pusat, dan DPD), calon kepala daerah dari kalangan pesohor kian banyak yang jadi pejabat terlepas kompeten atau tidak, akan teruji nanti setelah jalani tugas. Yang kompeten, tentu hasilnya memuaskan. Yang tidak, akan terbuang nanti di kemudian hari.

Berapa artis “manggung” ke pentas pileg dan pilkada, ada yang lempang jalan hingga purna tugas dan kembali sebagai incumbent lima tahun kemudian. Berapa yang ikut arus permainan politik dan hanyut ke muara syahwat pribadi dan tekanan partai pendukung. Akhirnya dipenjara sebagai koruptor.

Komeng dan fenomena, jawaban bagi keterasingan antara calon dan pemilih. Jawaban bagi keterpisahan antara kompetensi dan ketenaran seseorang. Pemilih boleh asing dengan calon, tetapi karena pesohor ada keinginan memilihnya. Pemilih boleh meragukan kompetensi si calon, yang penting dipilih dahulu.

Komeng memang uhuy… Viral dan trending di X. Ada satu harapan dan impian yang ingin ia perjuangkan, yaitu adanya Hari Komedi. Ia pernah mengusulkan hal itu ke “wakil rakyat” di Senayan, tetapi tidak ada realisasinya. Apakah “suara” Komeng dianggap receh atau memang tidak bisa dibuat undang-undangnya.

Karena itu, senyampang terpilih sebagai anggota DPD, terlepas peran dan fungsinya apa, yang pernah ia angan harapkannya bisa ia kembali perjuangkan. Walaupun membuat UU tentang sesuatu itu ada di DPR, tidak ada salahnya DPD juga bisa mengusulkan, toh mereka sama fungsinya, pembawa aspirasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...