Langsung ke konten utama

Banteng Perkasa

Ilustrasi, banteng dan "matador", image source: United Focus Indonesia (@utdfocusid)

Secara calon presidennya, Ganjar-Mahfud, keok perolehan suaranya, namun secara partai peserta pemilu, PDI Perjuangan dalam hitung cepat (quick count) keluar sebagai partai pemenang pemilu. Artinya, anggota legislatif dari PDI-P masih akan menguasi Senayan dalam lima tahun ke depan.

Begitu sedap bumbu Jokowi mengadon pasangan capres Prabowo-Gibran dengan dukungan koalisi besar dan meninggalkan PDI-P dengan pasangan capres Ganjar-Mahfud. Sepercik pemikiran, Jokowi menikam Banteng Moncong Putih hingga terkapar kemudian pasangan capresnya keok berdarah-darah.

Sepercik pemikiran yang layak direnungkan guna menemukan simpul di mana masuk akalnya. Iya, betul pasangan capres PDI-P kalah oleh pasangan capres hasil adonan Jokowi, yang satu bumbu paling menyedapkannya adalah anaknya Gibran, sedikit mengandung asam sulfat, tetapi tidak kedaluarsa.

Bagaimana mau kedaluarsa, wong baru dua tahun jadi wali kota Solo. Berarti seperti roti yang fresh from the oven. Diposisikan mewakili suara anak muda, penggerak UMKM, yang melek digital dan media. Ini hanya mitos yang diciptakan, kenyataannya milenial dan Gen Z tidak sesat dalam menentukan pilihan.

Tetapi, telah terjadi anomali. Perolehan suara untuk capresnya, PDI-P tertinggal jauh, namun perolehan suara partai begitu signifikan sehingga berhasil mempertahankan kembali pamornya sebagai partai pemenang pemilu 2024. Kalah di pilpres tidaklah mengapa, asal unggul di pileg. Good prestige.

Jadi, Banteng Moncong Putih sungguh benar-benar matikah ditikam Jokowi? Sepertinya tidak juga. Banteng Moncong Putih tetaplah sebagai Banteng Perkasa. PDI-P tetaplah sebagai partai perkasa di Senayan. Hanya saja, tidak lagi memiliki petugas partai yang bisa di-kuyo-kuyo seperti selama ini.

Justru PSI yang di-endorse langsung oleh Jokowi dalam iklan televisi dan baliho besar, perolehan suaranya di ambang batas parliament tresold. Artinya, PSI gagal memosisikan diri sebagai partai anak muda. Harapan Jokowi PSI masuk senayan hanya utopia belaka. Masih jauh panggang dari api.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...