Langsung ke konten utama

Karepmu, karepku

Image source: warung kopi karepmu

Sehari sebelum coblosan iki, Mas. Lha, trus piye. Yo, ora piye-piye, kur ngenteni. Ngenteni opo? Bok menowo ono serangan fajar. Ora ono iku. Trus? Wong wes diterke mau bengi kok. Yo, wes, artine wes entuk sampeyan iku. Yo entuk, meng kok sitik yo.

Sitik piro? Isin aku arep ngomongke. Wes, rasah mbok omongke sepiro gedene, aku yo ora pengin weruh kok. Sampeyan mbok bersyukur entuk duit soko caleg. Sampeyan yo balas budi dengan cara milih dan mencoblos caleg sing ngekeki sampeyan duit kuwi.

Ngono yo. Iyo. Sambil menyeruput kopi yang asapnya masih mengebul, Mat Bugu berdialog secara imajiner. Pandangannya jauh menerawang, ndilalah terang benderang, hujan seperti enggan datang mengguyur seluas komplek perumahan tempatnya tinggal.

Mungkin hujan enggan datang karena malu merasa guyurannya tidak sederas “guyuran” duit caleg yang mengucur ke pintu-pintu rumah yang penghuninya sudah diminta mengumpulkan KTP di masa awal pendaftaran sebagai caleg hingga mulai kampanye.

Mat Bugu yang berprofesi sebagai ojek pangkalan (opang) di gerbang sebuah perumahan elit, ngungun memikirkan betapa murahnya harga sebuah suara pemilih yang dibutuhkan oleh para caleg, hanya dengan dibayar seharga sekantong beras 10 kiloan.

Diseruputnya kopi, dilihatnya layar hape, kok tidak ada WA dari timses seorang caleg tetangga Blok perumahan mau bagi-bagi sembako. Padahal, dia sekeluarga, bagian dari sekian warga yang KTP-nya digadaikan untuk nyumbang suara caleg tersebut.

Lagi, diseruputnya kopi hingga tandas, lalu digasnya motor menuju pangkalan. Sudah banyak kawannya sesama opang, mengobrolkan ada atau tidak ada serangan fajar. Mat Bugu cari posisi ikut nimbrung, menyimak apa dan berapa duit caleg yang beredar.

Ujung-ujungnya mereka seperti kompak, setuju pada simpulan, ada atau tidak ada duit caleg yang mereka terima, mereka keukeuh pada pendirian “karepmu, karepku”. Kamu kasih duit, gue terima. Lu gue pilih apa kagak, terserah gue. Kan, gak ada perjanjian.

Nah, iya, juga. Mengumpulkan KTP bukankah hanya bukti bahwa caleg itu dapat dukungan. Bukan berarti jaminan bakal memilih dia. Mereka tuh berpikiran, “karepmu” caleg kalau hendak ngasih kami duit dan “karepku” kami-kami ini mau milih lu apa kagak.  

Pikiran dangkal Mat Bugu dan kawan-kawan sesama opang, cukup rasional juga. “Jual beli” suara pemilih pada pemilu itu bukan seperti halnya transaksional jual beli barang konsumsi atau material apa pun pada umumnya dengan filosofi “ada uang ada barang.”

Apalagi, pemungutan suara atau pemberian suara di bilik suara, tidak bisa dibuktikan siapa milih siapa. Dengan begitu, tidak ada jaminan Mat Bugu atau kawan-kawannya pasti milih caleg yang sudah ngasih mereka duit. Berarti, rugi dong. Rugi dong si caleg itu.

Bicara rugi, bagi caleg incumbent yang sudah 5 tahun bergelimang duit miliaran, menggelontorkan 300—500 juta adalah kecil. Gak ngaruh-ngaruh amat kalau Mat Bugu dan kawan-kawannya nggak milih si caleg. Baginya, sebagai incumbent, nggak ada istilah rugi.

Hanya saja, masak iya Mat Bugu dan kawan-kawan- nya atau siapa pu tega. Sudah menerima duit dari si caleg, tapi nggak milih dia. Terus kamurang mau milih siapa. Apa untungnya kamurang milih caleg lain yang nggak kamurang kenal apalagi ngasih duit.

Kalau seperti itu yang kamurang lakukan, sama artinya kamurang nggak ada hati. Iya, bukankah “karepmu, karepku” itu prinsip absurd. Hanya orang yang bodo amat yang bisa melakukannya. Orang yang punya hati nurani gak bakal berprinsip begitu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...