Langsung ke konten utama

Tepat di 9:17

Ilustrasi, logo G-Mail (Antara News)

Tepat pukul 7:19 satu lagi e-mail meluncur ke alamat yang tertera dalam flyer even menulis puisi bertema “Pendidikan Berkualitas untuk Indonesia Maju” yang ditaja Peace Poet. Masih ada dua even menulis puisi yang belum saya buat puisinya. Stok nergi masih cukup banyak, apalagi ditemani Tulus dengan lagu puitisnya.

Setelah masa keemasan Ebiet G. Ade, Katon Bagaskara (KLa Project), Dewa 19 (Ari Lasso), Padly (Padi Reborn), dan lain mulai meredup, muncul penyanyi solo yang lagu-lagunya tak kalah puitis. Sebut saja misalnya; Tulus, Raisa, Nadin Amizah, Sal Priadi, dan Raim Laode, Danilla Riadi. Sudah pada kenal kan?

Puisi bertema apa pun jadi tantangan dalam menuliskannya. Tidak semudah menulis puisi bebas yang tidak terpaku pada tata aturan berima (pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan). Apalagi tema pendidikan berkualitas di negeri konoha.

Agak bias mengarahkan larik puisi ke arah yang lebih spesifik tentang “pendidikan” yang jadi tema. Betapa banyak persoalan di dunia pendidikan. Infrastruktur (perangkat keras) meliputi sarana dan prasarana; gedung. Sedang perangkat lunak meliputi kurikulum dan metode didaktik pengajar.

Untung dalam tiap even, peserta diakomodasi dengan aturan yang lentur. Diberi kesempatan mengirim 3 judul puisi untuk disertakan pada proses kurasi. Bila ‘nyangkut’ 1 judul puisi ikut antologi, itu berkah dan Alhamdulillah. Bila tak 1 pun ‘nyangkut’ qodarullah, Alhamdulilah memperkaya pengalaman dalam berkompetisi.

Untung Tulus terus bersenandung, memantik inspirasi datang berkelebat mengalir ke akhir nyanyian. Aku Ingin, puisi SDD (Sapardi Djoko Damono) lebih terkenal setelah dinyanyikan Ari Reda. Oh, ya, selain yang telah disebutkan di atas, ada Chrisye, Iwan Fals, Franky & Jane yang lagu-lagunya syahdu mendayu-dayu.

Nah, iya... Ariel Noah dan Kuntoaji (solo vokal) tak bisa dikesampingkan. Keduanya piawai membuat ciwi-ciwi klepek-klepek. Sementara band indie yang lagu mereka menghadirkan nuansa melankolia bagi para pendengarnya karena puitis; Payung Teduh, Silampukau, Dialog Dini Hari, Banda Neira, dan Bara Suara.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...