![]() |
Ilustrasi (gambar: Collins Dictionary) |
Namanya Adinda, gadis Jawa Tengah, kota asal sesungguhnya saya tidak tahu persis. Kuliah di Fakultas Teknik Undip, ketemu cowok dari klan kerabat. Mereka berproses pacaran hingga menikah. Berakhir divorsed setelah berapa tahun kemudian. Beberapa hari lalu ndilalah saya tiba-tiba teringat padanya. Dan, hari Kamis selumbari (kemarin dulu) dia dikabarkan meninggal. Duka menyergap perasaan.
Kembali kekuatan feeling saya seperti menunjukkan kebenaran. Beberapa kali saya, baik terpikirkan atau terucap nama seseorang, tak lama kemudian terkabar yang bersankutan berpulang ke Rahmatullah. Bukan cuma teringat atau terucap, melainkan melalui penglihatan juga. Mungkin faktor kebetulan belaka, saat salat jumat mata saya melihat lekat-lekat ke Bapak RT kami, eh... hari Minggunya ia meninggal.
Di pagi hari saat Ibu mertua meninggal Desember 2021, saya berkata dalam hati (tidak terucap), "Ibu ini meninggal." Itu bersamaan saat akan mengantar istri ke sekolah. Benar saja, sesampai saya di rumah sepulang mengantar istri, ada telepon dari mbak di Wayhalim dengan suara terguguk menahan tangis, mengatakan kabar Ibu meninggal, minta istri diantar ke Wayhalim, mereka akan pulang ke Pacitan.
Saya gegas memacu motor kembali ke sekolah menjemput istri. Dia sudah dituntun oleh rekan-rekan guru dalam keadaan berurai air mata. Saat tahlilan 7 hari Efendi, tetangga di belakang, mata saya seperti digerakkan untuk memperhatikan Edi yang tertawa semringah dengan nasi kotak di tangan. Beberapa hari dari itu ia dilarikan ke RS dalam keadaan stroke, berpulang setelah dirawat 3 minggu di ruang ICU.
Kekuatan feeling atau apa pun namanya, tentu tidak semua orang bisa punya. Dalam keadaan baru kali pertama melihat, kenalan, mengobrol, dan berinteraksi dengan 'orang baru', saya seperti diberi 'pisau batin' dalam menilai seperti apakah kiranya karakter 'orang baru' tersebut hanya dengan melihat aura wajah dan cara bicaranya, termasuk orang baik atau tidak. Itu POV yang saya percayai sebagai kekuatan feeling.
Nasib Adinda agak menyedihkan, digantung –tanpa proses perceraian secara resmi– dalam keadaan mereka masih terikat hubungan suami istri. Suaminya menikah lagi karena pengin punya keturunan setelah dengan Adinda tidak dikaruniai keturunan. Suaminya tidak mau menceraikan sementara Adinda tidak mau menerima diduakan. Praktis hubungan mereka berdua menggantung. Di-openi tidak, 'dibuang' juga tidak.
Adinda bukan tidak berupaya untuk bisa hamil, bahkan pengobatan macam apa pun dicobanya sampai-sampai dia akhirnya terkena tumor sebagai akibat obat penyubur. Sepertinya tumor itu yang 'menggergaji' usianya hingga akhirnya 'patah' dan membuatnya berpulang. Klan kerabat hanya bisa melepasnya dengan doa dari jauh. Semoga husnul khotimah. Story IG dihiasi lagu Sal Priadi. Trenyuh.
Tak lebih dari itu. Karena itulah yang bisa dilakukan. Hubungan komunikasi praktis terputus setelah 'putusnya' ikatan tali perkawinan dengan suaminya. Pernah suatu hari kami keluarga besar ketemuan dengan Adinda di Jogja saat sedang menyelesaikan S2 di UGM lalu kembali bekerja di Dinas Bina Marga Jawa Tengah. Sesudah itu ada Covid-19, komunikasi terputus total, sampai terdengar kabar duka itu.
Kendati status perkawinannya dengan klan kerabat itu 'putus' secara tidak resmi, keluarga besar mbak ipar masih menganggapnya saudara, maka ketika mampir di Jogja dari Pacitan, mbak mengontak Dinda untuk datang ke hotel tempat kami menginap. Dinda datang dan kita ngobrol ngalor ngidul dengan akrab tanpa ada beban, makan-makan di Malioboro. Sesudah itu ada Covid-19 jadi loss contack hingga tiba kabar duka itu.
Komentar
Posting Komentar