Langsung ke konten utama

Pentigraf #1 (bagian 1)

Ilustrasi pentigraf (gambar: Tirastime.com)

Kemarin, Sabtu (17/05/2025) pukul 01.18 dini hari, masuk kiriman hasil layout buku format pdf lewat wapri. Tebal (calon) buku 477 halaman menghimpun 227 cerpen tiga paragraf (pentigraf) dari 227 penulis berbagai tingkatan usia dan latar belakang profesi.

Usia termuda tingkat pendidikan masih SMP dan tertua post graduate jenjang S2S3. Latar cerita beraneka rupa dan rasa. Ada yang semata-mata hasil imajinasi dan tentu tak dimungkiri ada di antarnya adalah pengalaman pribadi yang difiksikan.

Buku kumpulan pentigraf ini ditujukan untuk meraih penghargaan MURI. Sebelumnya penyelenggara telah pernah meraihnya. Maka, hasrat untuk meraih lagi, mereka membuka kembali program menulis bareng (nubar) tahun ini. Dan, saya salah satu pesertanya.

Semula sulit dipercaya, bagaimana mengumpulkan penulis agar kuota persyaratan meraih MURI itu terpenuhi, yaitu ketebalan buku 350500 halaman dengan jumlah penulis 230240. Tapi, nyatanya setelah saya ikuti proses rekrutmennya, eh bisa.

Saya menduga, admin (koordinator) penyelenggara terdiri dari banyak orang. Berapa pun jumlah penulis yang ikut pada masing-masing koordinator kemudian disatukan. Naskah peserta nubar dihimpun menjadi buku jilid 1, 2, 3, dan seterusnya hingga 5 jilid.

Lima jilid buku itu yang kemudian menghimpun 2.222 penulis, diajukan ke MURI dan mendapat ganjaran sebagai peraih rekor jumlah penulis terbanyak pada even nubar. Jika benar cara kerjanya seperti yang saya duga, maka masuk akal mereka bisa berhasil.

Karena himpunan dari banyak admin (koordinator) penyelenggara, sususnan nama penulis di daftar isi buku bukan berdasarkan urutan abjad, melainkan berdasar urutan siapa yang dahulu menyelesaikan persyaratan administratif (transfer biaya cetak).

Pada daftar urut di admin (koordinator) yang saya ikuti, naskah masuk nomor 20 dan di daftar transfer biaya cetak nomor 8 sedangkan pada daftar isi buku nomor 152. Padahal, jika sesuai abjad, maka nama saya akan terpojok di urutan terakhir halaman buku.


   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...