![]() |
Ilustrasi (image source: Kupas Tuntas) |
Dari 22 ribu ijazah yang ditahan sekolah di Provinsi Lampung, masih tersisa 8 ribu yang belum diambil pemilik (alumni SMA dan SMK) atau keluarganya. 8 ribu ijazah yang masih tertahan tersebut, 6 ribu ijazah SMA dan 2 ribu ijazah SMK. (Kupas Tuntas, Kamis (8/5/2025).
Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Lampung berencana akan mengantarkan langsung ijazah
tersebut kepada pemilik atau keluarganya. Teknis mengantarkannya, itu yang jadi
pikiran pihak Disdikbud. Apakah pihak sekolah yang mengantar atau cara lain.
Kadisdikbud Provinsi Lampung, Thomas
Amirico, berharap semua ijazah yang tertahan dibagikan kepada pemiliknya
masing-masing. Tapi, harus dipastikan yang menerima adalah pemiliknya sendiri (siswa
bersangkutan) atau pihak keluarga yang mewakilinya.
Agak mengherankan. Mengapa
sampai ijazah tertahan di sekolah? Biasanya si siswa masih memiliki tanggungan biaya
pendidikan yang belum dilunasi. SPP (uang komite) dan biaya lain-lain yang
belum dibayar. Menjadi alasan bagi sekolah untuk menahan ijazah mereka.
Agak mengherankan juga ini,
ada di antara pemilik ijazah itu yang kini sudah bekerja bahkan di luar daerah.
Pertanyaannya, pakai ijazah apa (siapa) mereka melamar kerja. Dan mungkin
karena sudah bekerja, mereka tidak peduli lagi terhadap ijazah yang ditahan itu.
Tentang melamar kerja
menggunakan ijazah orang lain. Saya pernah menyaksikan di sebuah gerai fotokopi
di Cikupa, Tangerang, calon pencari kerja menutupi nama asli di ijazah dengan
kertas bertuliskan nama dirinya lalu difotokopinya lalu dipakai melamar kerja.
Mengapa bisa hal itu mereka
lakukan? Satu hal yang agak riskan diceritakan. Ada etnis tertentu (dari Pulau
Sumatra) yang di-black list oleh
perusahaan-perusahaan di kawasan industri di Tangerang, berkaitan dengan karakter mereka
yang buruk kali, Bah.
Karakter tidak baik
itu, misalnya, yang bekerja di pabrik garmen, maling kaos diselipkan di balik
baju. Yang kerja di pabrik sepatu, maling kapingsol sepatu dan lainnya kemudian
dirakit di rumah kontrakan lalu dijual. Banyak yang ketahuan sekuriti, dibawa ke personalia.
Yang ketangkap
sekuriti, besoknya dipecat dan nama baiknya tercemar berikut daerah asal-usulnya. Untuk
mengelabui personalia pabrik lain ketika akan melamar pekerjaan, mereka mensiasatinya
dengan meminjam ijazah teman kontrakan dan diakali seperti di atas.
Tapi, banyak juga yang lolos dari kecurigaan personalia dan bisa mendapat pekerjaan lagi. Rupanya fenomena menggunakan ijazah aspal (asli tapi palsu) sudah menggejala sejak zaman booming buruh urban datang dari kampung udik menyerbu Jabodetabek tahun 1990an.
Ijazah palsu saat itu sudah marak digunakan. Bukan muncul di era Jokowi purna-tugas saja. Yang agak susah
mereka yang melamar kerja menggunakan ijazah milik sendiri yang nama universitasnya tersemat
nama provinsi daerah asalnya. Kontan kena black
list permanen.
Teman saya yang lulusan fakultas hukum di universitas L terkena imbasnya stigma buruk L itu, ia begitu kesulitan “menjual” ijazahnya, melamar kerja di mana-mana ditolak. Putus asa didera pesimisme, akhirnya bersama istri ia pulang lalu buka warung (berdagang).
Ini remah-remah cerita dari
masa keemasan pekerja urban pergi meninggalkan kampung menyerbu Jabodetabek. Saat
itu (tahun 1990–1998) sedang jaya-jayanya industri dan butuh tenaga kerja banyak.
Sebelum pada akhirnya meredup setelah reformasi 1998 bergulir.
Komentar
Posting Komentar