Langsung ke konten utama

Harap-harap Cemas

Ilustrasi (image: Lektur.ID)

Ini even menulis puisi bertema yang paling ketat kompetisinya. Masuk 360 nama peserta dan lolos seleksi awal 144 nama. Dari jumlah itu yang akan masuk buku antologi hanya 50 nama penulis. Karena ada peserta yang tidak mencantumkan nomor WA, maka di WAG hanya terdaftar 111 peserta.

Masih menunggu hasil perasan terakhir itu dengan dag-dig-dug. Tidak terlampau menaruh ekspektasi tinggi-tinggi, itu kunci agar tidak kecewa. Dalam hal apa pun. Dalam lomba, sayembara atau apa pun namanya. Apalagi dalam hal cinta-cintaan (dicintai dan/atau mencintai) janganlah terlampau berharap.

Selama proses kurasi berjalan, selama dewan juri bekerja, ya, tunggu saja apa pun hasilnya. Begitupun cinta-cintaan, selama lagi proses pedekate, saling kenal dan apa pun istilahnya, ya, tunggu saja. Apalagi sebelum dilamar dengan hantaran yang bejibun, sebaiknya pasang hati dengan penuh harap dan doa.

Harap-harap cemas dan doa yang dilangitkan, luruskan harapan agar jalan jodoh terbentang. Menunggu hasil kurasi even menulis puisi pun begitu. Apalagi puisi bertema (tema besar dan tema kecil), karya puisi yang dibuat sedapat mungkin mendekati tema (besar atau kecil) kendati tidak presisi dengan inti tema.

Kalaupun pengetahuan terbatas tentang tema ditentukan, google dan artificial intellegence (AI) bisa membantu. Dengan catatan sekadar untuk menera referensi tentang sebuah tema. Bukan dengan mengandalkan Meta AI dalam menciptakan puisi tersebut. Sejauh ini saya tidak begitu peduli dengan Meta AI itu.

Setidaknya dari beberapa buku antologi yang saya ikuti, karya saya lolos kurasi adalah karya dari hasil pemikiran bukan bantuan Meta AI. Namun, pada masa kini, hasil pindai Meta AI kadang menyesatkan. Dikatakannya puisi itu hasil Meta AI, padahal yang bersangkutan mencipta sendiri. AI ini agak memusingkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...