![]() |
Headline Kompas, Senin, 26/05/2025 |
Headline Kompas, Senin, 26 Mei 2025, ini bikin banyak sastrawan menyadari bahwa menulis karya sastra bukanlah profesi yang menjanjikan. Agaknya, tidak sedikit sastrawan yang benar-benar menggantungkan harapan hidup dari pekerjaan sebagai penulis. Rutin berkutat di depan laptop atau personal computer (PC).
Mengolah imajinasi agar menghasilkan cerpen atau puisi untuk dikirim ke surat kabar. Bila mujur dimuat akan mendapat honor. Honor yang tidak seberapa besar sebagian ditabung dari sisa yang dipergunakan untuk meragati kehidupan keluarga mereka sehari-hari. Tabungan untuk cadangan bila masa kritis tiba.
![]() |
Martin Aleida duduk di kursi roda dan mengetik dengan laptop di Jakarta, Rabu (21/05/2025) |
Diceritakan oleh Kompas ini, sastrawan Martin Aleida, 81 tahun, memandang sastrawan tidak bisa sekadar bersandar pada honor menulis. Aleida menyebut satu sastrawan yang bisa hidup dari karya-karyanya, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Artinya, sastrawan yang seperti itu jumlahnya tak banyak.
"Paling bisa dihitung dengan jempol. Kalau begini terus, saya melihat dunia sastra ke depan bakal gelap. Saya pun hanya mengandalkan tabungan," ucapnya, Rabu (21/05/2025). Martin yang kini bertumpu pada kursi roda setelah kaki kanannya diamputasi setahun lalu tinggal di rumah yang kurang terurus.
Di masa tua yang sakit-sakitan, dengan kemampuan menulis yang terbatas akibat pernah didera stroke, tetap membuat tulisan untuk dikirim ke surat kabar. Setelah era surat kabar habis berganti media online, harapan tulisan dimuat tetap ditinggikan karena itulah cara untuk mendapat pemasukan.
Sekalipun honor sebuah karya terbilang kecil, siasat untuk memperbesar pebghasilan adalah dengan memproduksi karya sebanyak-banyaknya dan mengirimkannya ke banyak media pula. Dengan begitu, penghasilan yang didapat besar juga. Sedikit-sedikit sisanya bisa ditnabung buat bekal hari tua.
![]() |
Muram Batu (foto: arsip pribadi) |
Muram Batu (46) sastrawan yang kini berdiam di Deli Serdang, Sumatra Utara, juga terus berjuang setelah stroke sempat menggerogoti tubuhnya pada 3030. "Fisikku hancur sekali. Aku malah hampir lewat (meninggal) sampai ada yang mengurus pemakaman," ucapnya.
Ia bertahan semata-mata dengan semangat untuk berkarya. Kemampuan mengetik Muram malah lebih cepat pulih daripada berjalan. "Pernah, setahun hanya berbaring, lalu bisa mengetik dengan tujuh jari. Sekarang, semua jari. Otak sudah bisa menulis, tetapi kalau jalan masih agak goyang," ujarnya.
Di masa koran yang ada halaman sastra masih sehat tahun 1980--2000an, banyak karya yang dimuat, tapi seorang sastrawan tidak serta merta bisa berharap karyanya akan dimuat dan mendapat honor. Yang mengirim karya bejibun dan semua berekspektasi karyanya dimuat. Artinya, kompetisinya begitu ketat.
Tetapi, redaktur sastra koran paham kualitas sebuah karya, mempertimbangkan matang-matang layak atau tidaknya dimuat. Karena itu, butuh waktu berminggu-minggu bahkan sampai 3 bulan baru ketahuan dimuat atau tidak. Di masa itu hanya surat berperangko yang jadi andalan, bukan e-mail seperti saat ini.
![]() |
Naning Scheid bersama penyair Joko Pinurbo di Yogyakarta. (arsip pribadi) |
Naning Scheid (44) membenarkan realitas sastrawan yang tak bisa bersandar dengan menulis saja. Naning merangkap sebagai penulis, dosen, penerjemah, dan aktris teater. "Cerminan kondisi struktural ekosistem sastra di Indonesia. Menulis jarang bisa menjadi sumber penghidupan utama," kata Naning.
Sejumlah kendala merundungi sastrawan, seperti keterbatasan pasar, royalti minim. Banyak sastrawan akhirnya menjalani peran ganda menjadi pengajar. "Bukan semata-mata idealisme atau keikhlasan, tetapi bagaimana seni bertahan dalam dunia yang menuntut keberlangsungan ekonomi," lanjut Naning.
Nah, bila tak bisa bersandar pada honor, ya, "bersandar di bingkai kata" saja.
Komentar
Posting Komentar