Langsung ke konten utama

"Pohon Terlambat Berbuah"


Rabu, 30/04/2025 pukul 15:41 masuk pesan lewat facebook messenger dari Bli I Wayan Jengki Sunarta, redaktur sastra koran Bali Politika. Lima puisi yang saya kirim, dimuat setelah sabar menunggu. Tentu saja saya haturkan terima kasih banyak atas tayang puisi tersebut di koran Bali Politika. Saya sampaikan lewat messenger itu.

Antre, katanya. Oh, ya, tentu saja banyak kiriman puisi yang masuk meja redaksi, berharap dimuat. Redaktur butuh waktu membaca satu-satu, menilai puisi dari berbagai aspek, apakah layak dimuat atau tidak. Saya maklum. Karenanya, saya sabar, tidak berekspektasi terlampau tinggi. Waktu akan tiba pada detik terakhir.

Ada penyair menggantung ekspektasi tinggi-tinggi terhadap puisi yang dikirimkannya ke media. Sangat berharap dimuat, puisinya dibaca banyak orang, namanya kian dikenal. Publikasi puisi atau karya sastra lainnya, itulah tangga yang dinaiki penyair agar kepenyairannya sampai di atas. Di puncak tangga ketenaran.

Naik ke panggung membacakan puisi, adalah tangga lainnya. Tangga yang dinaiki pelan tapi pasti, tidak instan dan kilat. Dituruni juga pelan. Tidak seperti eskalator yang cepat berjalan, cepat sampai, tapi cepat pula menurunkan kemudian nggak naik-naik lagi bahkan nyungsep. Lalu, putus asa dan berhenti nyastra.

Sejak suka menulis puisi tahun 1978 saat SMP, puisi-puisi yang saya tulis hanya tersimpan di buku catatan. Begitu juga saat di SMA di Jogja tahun 1980an, puisi yang saya tulis lebih suka saya kirim ke radio untuk dibacakan ketimbang di koran yang belum tentu dimuat. Mendengar nama disebut di radio lebih memuaskan, menurutku.

Ketika melanjutkan kuliah di Malang tahun 1986, puisi yang terserak dalam buku catatan saya kumpulkan. Saya ketik dan jadilah sebuah manuskrip. Ketika bekerja di koran baru saya tergerak memublikasikan di koran. Agak terlambat. Seperti pohon yang terlambat berbuah, ketika berbuah, buahnya bagus, rasanya lezat.

Buah yang lezat itu mewujud dalam bentuk Hadiah Sastera Rancage untuk buku Singkapan (Sang Rumpun Sajak bahasa Lampung), mengantarkan saya bersama empat pemenang hadiah sastra daerah Batak, Sunda, Jawa, dan Bali ke Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), 18--22 Oktober 2023, kami berempat memanggungkan sastra daerah di Universitas Udayana.

Puisi dan esai saya mulai ikut antologi bersama. Debutnya buku Negeri Para Penyair, Jalan Sastra Lampung, Sampian, Upacara Tanah Puisi, Suatu Hari dari Balik Jendela Rumah Sakit, Terkenang Kampung Halaman --Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran, Ijen Purba, Serampai Kata Blambangan, dan baru saja terbit Si Binatang Jalang.

Antologi Ijen Purba mendorong kemauan saya untuk berangkat ke Banyuwangi menghadiri Jambore Sastra Asia Tenggara (24--26 Oktober 2024) kendati baru empat hari pulang dari ibadah umrah. Bertemu penyair se-Indonesia, Malaysia, Singapura, D. Zawawi Imron "si celurit emas". Mengenal tari gandrung, dan kuliner khas Banyuwangi Rujak Soto dan Sego Tempong memberi pengalaman baru bagi saya.

Antologi Si Binatang Jalang menggesa asa saya untuk ke Jakarta agar menerima langsung buku tersebut pada puncak acara Perayaan Hari Puisi Nasional, 29 April 2025, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Cikini. Benar belaka. Oleh koordinator acara, Uni Devi Matahari, saya dipanggil untuk naik ke panggung menerima buku secara simbolis.

"Saya panggil tadi siapa yang dari Lampung, ada hadir di sini.... Jauh-jauh dari Lampung," kata Uni Devi. Saya beranjak dari kursi yang saya duduki, gegas menuju panggung dengan senyum semringah. Mata-mata tertuju ke arah saya. Wah, sebuah kehormatan bagi saya pribadi dan bagi Lampung juga, tentunya. Oleh Nirwan Dewanto, Lampung dijulukinya "negeri para penyair."

Bersama saya dipanggil juga Helvy Tiana Rosa, Kurnia Effendi, dan Ratih Ayu Puspitasari yang jauh-jauh dari Solo membawa tubuh mungilnya sendirian ke Jakarta, demi apa coba? Tentu demi menimba pengalaman bersastra secara luas pada ekosistem yang tepat, yaitu komunitas penyair. Taman Ismail Marzuki itu adalah pusat berkumpulnya berbagai komunitas.

Di acara puncak perayaan Hari Puisi Nasional 29 April 2025 yang baru berlalu, berkumpul sastrawan, teaterwan, sineas, dan budayawan dari mana-mana. Ada yang sudah saling kenal, satu buku antologi bersama, terhubung oleh platform media sosial sebagai teman atau follower. Yang belum kenal dan baru kali pertama bertemu juga ada. Euforia bertemu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...