Langsung ke konten utama

Husnul Khotimah

Titik Puspa. (gambar: Askara.co)

Jogging pagi tadi saya dipertemukan dengan dua bendera kuning di mulut gang. Satu di Blok Q seberang minimarket etaria di Jalan Jalur Dua BKP dan satunya lagi di Blok V tidak jauh dari masjid Ar-Rahman. Almarhum atau almarhumah yang meninggal di malam Jumat tersebut sungguh orang yang beruntung.

Meninggal malam Jumat atau hari Jumat konon katanya merupakan salah satu dari sekian tanda husnul khotimah. Ayahku dan satu adiknya meninggal pada hari Jumat pagi. Yang jelas apabila disalatkan bakda salat jumatan, niscaya akan banyak orang yang turut menyalatkannya. Sebuah berkah, tentu.

Masih konon katanya lagi, bila jenazah disalatkan oleh 40 orang akan bebas dari fitnah kubur (azab kubur). Apalagi bila lebih dari 40 orang. Jemaah salat jumat tentu lebih dari 40 orang karena untuk menyelenggarakan salat Jumat mesti memenuhi syarat rukun, yaitu sekurang-kurangnya 40 orang.

Mudah-mudahan orang yang meninggal di malam Jumat atau pada hari Jumat sehingga dimakamkan bakda salat Jumat, akan masuk dalam golongan orang yang meninggal husnul khotimah dan terbebas dari fitnah kubur. Oh, ya, Titik Puspa meninggal Kamis sore kemarin sekira pukul 16 di rumah sakit Medistra.

Tadi malam TV menyiarkan Breaking News atas meninggalnya Titik Puspa. Para pelayat dari berbagai kalangan memenuhi Wisma Puspa tempat Titik Puspa disemayamkan. Berbagai kalangan (selebritas dan pejabat publik) karena Titik Puspa seorang penyanyi legendaris (melintasi masa enam dasawarsa).

Nanti bakda salat Jumat Titik Puspa akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tentu yang menyalatkannya akan lebih dari 40 orang. Bahkan, bisa jadi ratusan orang. Sudah meninggal di malam Jumat, disalatkan oleh ratusan orang, maka masuk dalam barisan husnul khotimah lah itu.

Selamat jalan Eyang Titik Puspa. Lagu dan suaramu senantiasa akan dikenang karena tak lekang oleh waktu, tak lapuk dimakan zaman. Senantiasa terasa seperti baru saja Eyang ciptakan dan nyanyikan. Lagu-lagu berbagai genre dan suara penyanyi yang melagukannya membawa kenangan ke masa silam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...