![]() |
Belajar melék aksara (gambar dipinjam dari: ANTARA News Kalsel) |
Apa sebenarnya makna slogan “merdeka belajar” yang be made by Nadiem Anwar Makarim sewaktu jadi menteri pendidikan di era presiden Jokowi? Apakah anak didik dibebaskan belajar a la mereka sendiri tanpa campur tangan guru? Kemudian apa hasilnya?
Ratusan siswa
SMP yang belum bisa membaca di Buleleng, Bali, mencuat menjadi berita
mengejutkan. Dari 34.062 siswa, 155 di antaranya tidak bisa membaca sama
sekali, sementara 208 lainnya belum lancar. Pertanyaannya, siapa yang layak
disalahkan?
Ketika mengantar
anak kami yang ragil tes masuk SD,
lebih dua dasawarsa silam, Oleh guru yang menerima pendaftaran, ia disodori
buku yang terbuka pada halaman tertentu dan disuruh baca. Karena sewaktu di TK mungkin
diperkenalkan dengan aksara, ia melék aksara.
Ditambah pula di
rumah diajari ibunya mengeja patahan-patahan kata (suku kata) pada poster “Belajar
Membaca” yang ditempel di tembok. Semakin kenal hurup dan patahan-patahan kata, tak urung semakin lihai pula ia merangkaikannya menjadi satu kata utuh.
Dari patahan-patahan
kata seperti BU-KU, BA-JU, GU-LA, RO-TI, dan lain-lain, diajarkan cara membaca dengan mengeja per suku kata lalu menyambungkannya, maka padu menjadi satu kata bermakna
yang ia pahami artinya. Ketika tamat TK, ia sudah lancar membaca.
Memang,
sejatinya pendidikan jenjang TK, belum boleh mengajarkan anak mengenai
calistung (membaca, menulis, berhitung), tapi pada kenyataannya, banyak sekolah
TK melakukan itu dan tidak bisa disalahkan. Bahkan, manfaatnya begitu sangat
signifikan.
Jadi, agak
mengherankan apa yang terjadi di Buleleng, Bali, tersebut. Kok bisa terjadi. Taruh
saja diasumsikan anak yang masuk SD terlebih dahulu melewati jenjang pendidikan
TK. Lantas, apa yang dilakukan guru Bahasa Indonesia saat mereka Sekolah Dasar?
Apa yang terjadi
di Buleleng, Bali, atau bisa jadi terjadi di daerah lain juga, bukan saja memprihatinkan,
melainkan juga menjadi gambaran betapa sistem pendidikan kita berwajah ‘buruk
rupa’ sehingga perlu dibawa ke salon di-make over alias dievaluasi ulang.
Ketika berita di
atas saya kasih ke istri untuk membaca, dia tidak terkejut. “Itu fenomena umum,” katanya.
Sebagai pensiunan guru SMP, dia pernah menemukan siswanya yang belum lancar membaca.
Dia tak habis pikir dan menaruh tanda tanya besar. Kenapa begitu?
Dia panggil orang tua siswa tersebut dan meminta
agar anaknya dikursuskan membaca di rumah secara intensif. “Bagaimana mungkin
si anak tersebut bisa menjawab soal ujian bila membaca pertanyaannya saja tidak
bisa,” kilah dia. Logika istri itu masuk akal.
Membaca adalah
kompetensi dasar bagi seorang anak didik. Bagaimana mungkin mereka bisa
menguasai ilmu pengetahuan tanpa kompetensi dasar tersebut. Ibarat ilmu adalah
mesin kendaraan rusak dan membaca adalah alat untuk bisa menyervisnya.
Sekilas kembali
ke aforisme jadul, “Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya.” Maknanya
dalam sebuah buku terkandung banyak macam pengetahuan dan ‘membaca’ adalah alat
untuk membuka jendela agar pengetahuan itu terlihat.
Sehingga sangat
mustahil bagi seseorang bisa memandang keluar tanpa jendela. Nonsens jadinya
seorang anak didik bisa mengikuti proses belajar mengajar apabila buta aksara,
tidak melék aksara. Hanya mungkin bila ada manipulatif dan formalitas belaka.
Komentar
Posting Komentar