![]() |
Sekadar penghias |
Pada buku sehimpun puisi & catatan “Sehirup Sekopi” yang terbit 2018, satu puisi berjudul “Griya Joglo Mbah” bercerita betapa anak-anak selalu merindukan duduk di bangku di teras sambil menikmati kudapan khas Jawa pesisiran, yaitu nasi yang dibungkus daun jati.
Sewaktu ke Banyuwangi
menghadiri Jambore Sastra Asia Tenggara, 24–26 Oktober 2024, kami “penyair
goes to school” ke SMPN 1 (Spansa) Genteng, diperkenalkan Rujak Soto. Dalam
perjalanan dari Rumah Budaya Osing di Kemiren menuju Genteng, mampir sarapan.
Perjalanan ditempuh
sejauh 40 km, oleh penjemput salah satu wakil kepala sekolah, kami diampirkan
dahulu ke sebuah warung untuk sarapan Rujak Soto. Di warung bertemu dengan
peserta lain yang juga perjalanan menuju sekolah yang ditunjuk. Bukan faktor kebetulan
belaka, mengapa begitu?
Karena warung itu
memang tersohor. Banyak pendatang luar kota yang sudah mengenal atau
mengetahui niscaya akan mendatanginya. Warungnya tidaklah cling seperti kebanyakan warung modern, tapi prototipe warung jadul yang mempertahankan
naturalismenya.
Ada satu lagi kuliner Banyuwangi yang kini sudah bisa dinikmati di Jakarta, yaitu Sego Tempong. King Abdi, seorang cheft jebolan Master Cheft Indonesia mempopulerkannya di Jakarta. Ia berterima kasih kepada orang yang mengajarkan resep asli Sego Tempong seperti khasnya Banyuwangi. Tidak berubah rasa.
Saya dan istri melacak tempat menikmati Rujak Soto dan Sego Tempong seperti yang direkomendasikan driver Grab yang saya naiki dari Pantai Boom menuju hotel sehabis acara seminar sastra. Ada di Jl. Wilis, tidak jauh dari hotel tempat menginap, bisa jalan kaki.
Sekarang perantau asli Banyuwangi di Jakarta bisa menikmati Sego Tempong tanpa harus pulang kampung saat Lebaran atau mesti cuti. Berkat King Abdi, Sego Tempong kuliner khas Banyuwangi sejajar dengan kuliner daerah lain yang sudah duluan tersaji di Jakarta.
Kembali ke Griya Joglo
Mbah. Di Twitter Boy Candra, penulis novel, ngetwit perihal nenek (mbah). Katan Boy Candra, “Nenek adalah kunci. Pemersatu
keluarga kala lebaran dan hari-hari penting lainnya. Kalau beliau sudah tidak
ada, dunia berubah suasana.” Oleh anak sulung twit Boy Candra itu di-liked.
Twit Boy Candra itu (entah tahun berapa, hilang titi mangsanya) saya screenshoot dan lama tersimpan di galeri hape. Kemarin scrol ngecek hape ketemu ss tersebut lalu saya WhatsApp ke anak sulung. “Begitulah adanya,” balasnya. Ya, tidak dimungkiri nenek adalah kunci penyemangat keluarga untuk mudik.
Mbah di Jawa dan
Tamong-Kajong anak-anak di Ranau semua telah tiada, maka pemantik kerinduan untuk mudik ke Jawa atau mulang pekon ke Ranau telah kering seperti anak sungai di musim
kemarau. Anak sungai adalah sumber air bagi sumur. Bila anak sungai kering,
sumur kekurangan pasokan air.
Begitulah adanya. Seperti
balasan anak sulung di atas, ketika orang tua sudah tiada, maka ibarat sungai
di musim kemarau, keringlah cucuran semangat untuk pulang berlebaran di kampung halaman
muasal kehidupan. Itulah kenapa pada beberapa kali Lebaran, kami tidak pulang ke Pacitan atau ke Ranau.
Terutama pascalebaran April
2023 ada acara lamaran anak sulung, Lebaran 2024 kali pertama bersama anak
mantu, Lebaran 2025 tinggal bertiga dengan anak ragil, anak mantu tidak mudik. Setelah
kami kehilangan orang tua, anak kehilangan mbah,
tamong, kajong, hilanglah sudah pemantik kerinduan.
Komentar
Posting Komentar