Langsung ke konten utama

Fiksi dan Sudut Pandang

Ilustrasi. (gambar: YouTube Majalah Bobo)

“Membaca buku fiksi bukan sekadar hiburan semata, melainkan agar mendapat banyak manfaat. Di balik cerita yang memikat, tersimpan banyak mafaat bagi perkembangan emosi dan intelektual para pembacanya.”

Begitu yang saya tangkap dari unggahan IG Penerbit Pustaka Jaya (@duniapustakajaya). Menurut penerbit yang didirikan sastrawan Ajip Rosjidi itu, ada empat manfaat membaca buku fiksi bagi kehidupan pembaca.

Yang pertama, meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas. Fiksi mengajak si pembaca membayangkan dunia-dunia baru, karakter unik, dan situasi yang tidak biasa. Ini bagus untuk melatih kreativitas dalam kepenulisan.

Kedua, melatih fokus dan kesabaran. Membaca buku fiksi, apalagi yang tebal dan kompleks, mendorong pembaca menjadi fokus dan sabar mengikuti alur cerita. Ini latihan mental yang tepat di era serba cepat seperti sekarang.

Di Threads saya menemukan kompleksitas perasaan orang yang sedang menyelesaikan membaca novel Laut Bercerita dari novelis Leila S. Chudori yang tebal. “Beberapa kali jeda, mesti sabar ini,” kata dia di caption.

Nah, jika saja tidak sabar tentu dia berhenti di keadaan ‘tidak selesai’ dan tak akan bertemu dengan ending cerita. Tanpa tahu ending cerita tentu saja tidak akan mendapatkan manfaat dari membaca. Ujungnya merasa penasaran.

Ketiga, menenangkan pikiran dan mengurangi stres. Kepikiran banyak hal dan akhirnya stres jadi momok menakutkan sebagian orang. Membaca fiksi dan terbawa hanyut alur cerita yang sedap, akan menjadi obat mustajab.

Di saat terbawa hanyut alur cerita itu bisa jadi cara efektif untuk sejenak melepaskan diri dari tekanan pikiran pemicu stres. Membaca itu semacam healing ke luar kota, padahal hanya berdiam diri doang menikmati cerita.

Yang kelima, melatih empati. Dengan membaca cerita dari sudut pandang tokoh yang berbeda, pembaca buku jadi lebih bisa memahami perasaan orang lain. Bahwa sudut pandang orang berbeda bisa ditemui di banyak cerita.

Penelitian menunjukkan bahwa pembaca fiksi cenderung punya empati lebih tinggi dari yang lainnya. Seseorang yang cenderung melihat persoalan dari ‘kacamata’ dirinya, dengan fiksi akan paham bahwa ada ‘kacamata’ orang lain.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...