Langsung ke konten utama

Dihantui Pertanyaan

Momen bincang-bincang Najwa Sihab dengan Gibran (TikTok @najwasihab)

Masih ingat video bincang-bincang Najwa Sihab dengan Gibran di acara peresmian Pojok Baca di Kedai Markobar Makassar pada Oktober 2017. Waktu itu Najwa Sihab bertanya seberapa sering Gibran baca buku di rumah. Gibran menjawab tidak suka baca buku.

Maksud Gibran bukan berarti tidak suka baca buku sama sekali, melainkan tidak suka yang berat-berat. “Kalau saya sih suka baca komik. (Komik) apa aja saya baca. Kalau artikel-artikel ya paling artikel-artikel ringan lah, nggak pernah yang berat-berat,” jawab Gibran

Waktu itu, Gibran masih berkiprah di bisnis kuliner dan belum terjun ke dunia politik. Mendengar jawaban Gibran, jurnalis senior yang akrab disapa Mbak Nana ini terlihat gemas dan mencubit-cubit tangannya sendiri. Reaksi seorang Duta Baca yang penuh greget.

Telah ada berapa postingan topik membaca di blog ini. Kemarin perihal 155 pelajar SMP di Buleleng, Bali yang belum bisa membaca sama sekali dan 208 lainnya belum lancar. Susah menemukan titik pusat persoalannya di mana. Guru Bahasa Indonesia SD-nya ngapain aja?

Duta Baca Indonesia 2021–2024 Gol A Gong aktif mengkampanyekan pentingnya membaca dan menulis. Oleh sebab itu, ia mendirikan Komunitas Kesenian Rumah Dunia di Serang, Banten pada tahun 1998. Di Rumah Dunia lahir penulis-penulis yang namanya berkibar.

Sebagai Duta Baca, Gol A Gong mengadakan kegiatan literasi, seperti bedah buku, lokakarya penulisan, dan diskusi sastra di berbagai daerah. Aktif keliling dari daerah ke daerah sejak ditunjuk Perpustakaan Nasional. Ia mengemban tugas penting di bidang literasi.

Setelah Gol A Gong menyelesaikan mandat sebagai Duta Baca 2021–2024 menggantikan Najwa Sihab 2016–2021, siapa yang akan menggantikan Gol A Gong, layaknya penting memetakan persoalan mengapa sampai terjadi ada kasus seperti di Buleleng, Bali tersebut.

Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Agus Salim, HAMKA, Ajip Rosjidi, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, mereka membaca. Dari bacaan itulah, para pelopor berdirinya republik ini bisa merumuskan kemerdekaa. Mustahil Indonesia merdeka tanpa didasarkan bacaan.

Saya membaca buku dan berbagai media sosial agar ‘merdeka’ terhadap diri sendiri. Membaca adalah cara saya menyelamatkan daya ingat agar tidak terkikis daya pikun yang kuat menggerogoti. Yang membuat seseorang ‘runtuh’ bukan bokek, melainkan lupa.

Di era digital ini waktu begitu cepat berjalan. Membaca adalah seni memperlambat waktu. Waktu dieja per detik. Berteriak dan berorasi adalah cara menyuarakan perlawanan. Tapi, ada perlawanan bentuk lain, yaitu membaca dalam diam, menyerap kedalaman.

Kedalaman apa? Kedalaman makna hidup dan kehidupan di era digital yang serba cepat dan begitu kompetitif. Ada orang membaca untuk mencari jawaban. Belajar mengendapkan pertanyaan adalah cara lainnya. Di mana di antara kedua itu kebijaksanaan berada?

Orang yang membaca paham, kebijaksanaan bukan hadir kepada orang yang memperoleh jawaban, melainkan juga hadir kepada orang yang berani tinggal bersama pertanyaan. Maka, membacalah untuk memperoleh jawaban atau tetap dihantui pertanyaan.

Saya dihantui pertanyaan, mengapa ada anak SMP belum bisa baca? Apa karena program merdeka belajar? Atas nama merdeka belajar itu anak didik suka-suka mereka dalam belajar. Guru-guru juga atas nama merdeka mengajar. Sehingga semuanya tanpa target.

Kendati lebih setengah abad silam RA Kartini menyadarkan pentingnya kesetaraan gender lewat gerakan emansipasi wanita agar wanita juga bisa mengenyam pendidikan. Tapi, ketika masih ada anak didik yang tak bisa baca, apa kembali ke gelap setelah begini terang.

Kumpulan surat-surat RA Kartini dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah obor penerang agar generasi sesudahnya tidak terkungkung dalam gelap. Kalau masih ada yang tak suka baca dan belum bisa baca, apakah gelap belum benar-benar terang?  

Pertanyaan lagi kan ujungnya. Makanya judul tulisan ini “Dihantui Pertanyaan.

Selamat memperingati Hari Kartini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...