![]() |
Delapan penjuru angin, ke mana arah politik Indonesia akan dibawa? (Kompas.id) |
“Setiap buku adalah dunia baru yang bisa kita masuki tanpa harus meninggalkan tempat duduk kita,” kata Dee Lestari. Penulis novel Filosofi Kopi ini benar. Hanya dengan duduk di kursi teras atau ruang kerja, kita baca buku sembari menyeruput kopi, tanpa sadar kita memasuki dunia melalui buku yang kita baca.
Aforisme tak lekang oleh waktu, “buku adalah jendela dunia.” Membaca
bisa disamakan dengan seolah-olah kita mengakses suatu tempat tanpa perlu
mendatanginya. Gimana mungkin? Yaitu tadi, dengan membaca buku. Buku yang kita
baca itulah sebagai “jendela dunia”-nya. Kita melihat jauh ke luarnya.
Yang agak susah adalah membaca ke mana arah Indonesia ini akan dibawa
pemimpin yang ‘omon-omon’ keluar dari mulut mereka menihilkan konsistensi. Ibaratnya
“pagi tempe, sore dele” saking cepat berubah mengikuti kemauan “politik
tarnsaksional” yang kuat membelenggu kebebasan dalam bersikap dan mengambil kebijakan yang memihak rakyat.
Perubahan RUU TNI sudah disahkan menjadi UU, menyusul sebentar lagi RUU POLRI yang sedang dibahas parlemen akan disahkan juga menjadi UU. Lengkap sudah legitimasi yang aparat akan dapatkan “secara penuh” dengan diberlakukannya UU tersebut. Mereka bebas menduduki jabatan sipil di pemerintahan dengan atau tanpa arogansi kepemimpinan.
Selama ini rakyat cukup dibuat repot oleh kekuasaan yang mereka
pertontonkan. Tidak banyak cara yang rakyat bisa lakukan selain menyuarakan
kritik, itu pun bisa dibungkam dengan upaya represif. Lagu “Bayar, Bayar, Bayar”
oleh duo vokalis band Sukatani asal Purbalingga, adalah salah satu bentuk
kritik berdasar kenyataan yang gampang ditemui.
Banyak lagu menyuarakan kritik. Franky Sahilatua bersama adiknya Jane Sahilatua (Franky & Jane) dan Iwan Fals adalah penyanyi balada terkenal dengan kritik-kritiknya. Orang hanya tahu Franky & Jane lewat lagu “Kepada Angin dan Burung-burung”, “Musim Bunga”, “Lelaki dan Rembulan”, “Perjalanan”, yang suara Jane merdu begitu melankolis.
Baru pada lagu “Perahu Retak” tampak nyata bahwa Franky Sahilatua juga begitu vokal menyuarakan kritikan.
Perahu Retak
Franky Sahilatua
Perahu
negeriku, perahu bangsaku
menyusuri gelombang
semangat rakyatku, kibar benderaku
menyeruak lautan
langit membentang cakrawala di depan
melambaikan tantangan
di atas tanahku, dari dalam airku
tumbuh kebahagiaan
di sawah kampungku, di jalan kotaku
terbit kesejahteraan
tapi kuheran di tengah perjalalan
muncullah ketimpangan
aku heran, aku heran
yang salah dipertahankan
aku heran, aku heran
yang benar disingkirkan
perahu negeriku, perahu bangsaku
jangan retak dindingmu
semangat rakyatku, derap kaki tekadmu
jangan terantuk batu
tanah pertiwi anugerah Ilahi
jangan ambil sendiri
tanah pertiwi anugerah Ilahi
jangan makan sendiri
aku heran, aku heran
satu kenyang, seribu kelaparan
aku heran, aku heran
keserakahan diagungkan
Lagu “Perahu Retak” ini melintasi zaman. Dirilis tahun 1995, tapi bila
diputar hari ini pun gambaran “perahu bangsa yang retak” begitu nyata
tergambar. “Kebahagiaan dan kesejahteraan” tercerabut manakala sawah berubah
jadi rumah mewah dan laut dipagari. “Yang salah dipertahankan dan yang benar
disingkirkan” nyata adanya di depan mata.
Begitupun “Sebagian kecil kenyang sendiri dan sebagian besar kelaparan”
serta “keserakahan” membabi buta dengan maraknya korupsi hingga triliunan
rupiah, tapi pelakunya hanya divonis hukuman penjara yang menihilkan rasa “keadilan
bagi seluruh rakyat” seperti yang diamanatkan Pancasila. Itu bisa terjadi karena hukum
tajam ke bawah tumpul ke atas.
Komentar
Posting Komentar