Langsung ke konten utama

Berdamai dengan Bumi

Twibton Hari Bumi. Foto: detikcom

“Bumi tidak butuh diselamatkan oleh korporasi. Ia justru butuh dibebaskan dari mereka.” Begitu kata Vandana Shiva dalam bukunya “Berdamai dengan Bumi.”

Filosofi masyarakat Timor, hutan adalah “pembuluh darah.” Tetumbuhan dalam hutan mereka percayai sebagai urat nadi yang mengalirkan darah kehidupan. Karena itu, mereka sangat menjaga kelestarian hutan demi keberlangsungan hidup.

Silakan baca di sini: https://senangkalan.blogspot.com/2021/01/hutan-adalah-pembuluh-darah.html

Hujan Minggu dini hari yang tercurah begitu deras menimbulkan banjir bandang di Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung. Ketinggian air satu setengah meter merendam permukiman penduduk, tiga orang tewas oleh bencana tersebut.

Apa penyebab banjir bandang dan air yang menggenangi permukiman? Buruknya drainase bisa jadi biang keladi untuk dalam kota. Gundulnya hutan di hulu akibat eksploitasi dan alih fungsi membuat degradasi daya tampung hujan di hulu DAS.

Masyarakat barangkali hanya sebagian kecil yang merambah hutan dijadikan kebun kopi, misalnya, hanyalah sekadar cukup untuk kegiatan ekonomi sederhana. Yang brutal justru dilakukan korporasi merusak hutan jadi kebun sawit skala besar.

Maka, benar belaka statemen Vandana Shiva di atas, bumi butuh dibebaskan dari cengkeraman kuat pemilik modal yang kongkalikong dengan pemegang kekuasaan dengan ambisi bersama merampas hutan adat milik masyarakat turun temurun.

Buku Vandana Shiva di atas adalah seruan untuk melihat bahwa krisis ekologi dan kekerasan terhadap perempuan, petani, dan masyarakat adat memiliki akar yang sama: kolonisasi, kapitalisme, dan patriarki. Kekuasaan dan kapital bersinergi.

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” seperti yang diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak benar-benar dipraktikkan oleh negara.

Yang terjadi adalah dikuasai oleh kapitalis atas restu negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran korporasi. Masyarakat adat sebagai pemilik sah bumi, air, dan kekayaan alam yang mereka diami turun temurun tak bisa berbuat banyak, terusir begitu saja.

Pengusiran paksa pemilik bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya, itu difasilitasi negara dengan mengerahkan aparat yang dipersenjatai. Bagaimana mungkin rakyat kecil yang rapuh mampu berhadap-hadapan dengan buldozer dan moncong senjata.

Sawah hijau subur diurug dijadikan real estate, laut dipagari membatasi akses nelayan. Dua hal itu membuat petani dan nelayan kehilangan kedaulatan atas bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya. Negara lepas tangan dan seolah tak tahu menahu.

Hari Bumi tahun ini bertema “Kekuatan Kita, Planet Kita.” menekankan pentingnya tanggung jawab bersama antara masyarakat, organisasi, hingga pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan demi membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.

Hari Bumi ialah acara tahunan yang dirayakan di seluruh dunia untuk menunjukkan dukungan bagi perlindungan lingkungan. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia ini yaitu bumi.

“Perdamaian dengan bumi” bukan slogan, melainkan strategi perlawanan: menolak GMO (genetically modified organism) dan panen benih, melindungi keanekaragaman hayati, mendukung pertanian berkeadilan, mengembalikan kendali ke tangan komunitas lokal. Itu pesan Shiva.

Masyarakat Timor memiliki filosofi oel fani on na, nasi fani on nafus, afu fani on mesa, fatu fani on nuif, mengandung arti bahwa air merupakan darah, hutan adalah pembuluh darah dan rambut, tanah merupakan daging, batu merupakan tulang.

“Bumi bukan milik pasar. Ia adalah ibu, penjaga, dan rumah,” lanjut Vandana Shiva. Argumen Shiva itu sejalan dengan filosofi masyarakat Timor. Semua itu adalah perlawanan terhadap logika kolonialisme dan pasa globa. Mari berdamai dengan bumi.

Selamat merayakan Hari Bumi, 22 April 2025, sayangi bumi kita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...