Langsung ke konten utama

Mbah Sirin Berpulang

Satu pekan Pak Sepuh berpulang, malam ini tahlilan nujuh hari beliau. Pagi tadi ada pula kabar duka. Mbah Sirin yang berpulang, kami beberapa orang warga RT 12 pergi melayat.

Mbah Sirin, begitu kami memanggilnya. Asli dari Ponorogo, punya kebun palawija di samping rumah kami. Karena istri saya orang Pacitan, jadinya akrab. Ketemu sedulur jarene.

Pacitan dan Ponorogo itu bertetangga. Ponorogo dilalui bila hendak pergi ke Surabaya. Dari Pacitan melewati dahulu Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, dan Gresik.

Jalur tersebut bisa ditempuh lewat tol Caruban—Nganjuk atau bisa juga ruas Mojokerto—Surabaya. Semenjak ruas tol Trans Jawa tersambung jarak yang tadi jauh menjadi dekat.

Dahulu, baru-baru kami menempati rumah, saya sering sowan ke ladangnya Mbah Sirin. Kami ngobrol pake boso jowo, terasa lebih ngakrabi. Mendekatkan roso peseduluran.

Pagi dan petang Mbah Sirin menyiram tanaman sayurnya, saya menunggu hingga selesai dan ia ngaso. Lalu kami ngobrol banyak hal. Terutama riwayat hingga ke Lampung.

Umumnya orang Jawa di Lampung adalah peranakan transmigran. Cikal bakalnya entah sejak kakek buyutnya atau orang tuanya yang bertransmigrasi dari Pulau Jawa.

Bila dari kakek buyutnya berarti orang tuanya sudah lahir di Lampung. Bila dari orang tuanya berarti anak-anaknya lahir di Lampung. Atau lahir di Jawa baru pindah ke Sumatra.

Bertetangga dengan ladang sayuran membuat kami tidak harus ke warung. Sore-sore Mbah Sirin wedok atau anak mantunya menyamperi kami menjajakan aneka sayuran.

Kacang panjang, sawi, kangkung, cabai, rampai, terong, labu siam, kol, timun. Pokoknya cemepak. Tetapi, sejak mbah wedok sedo (wafat), Mbah Sirin mulai jarang ke ladang.

Sebagian lahan ladangnya kemudian dijual dan sudah berwujud rumah. Sebagian lainnya juga sudah dijadikan rumah anak mantunya, ada lahan sedikit ditanami pisang.

Tanaman pisang itulah yang jadi andalan anak wedoknya. Setiap ada yang dipanen, anaknya mengetuk pintu-pintu rumah kami menawarkan pisang kepok kuning yang ranum.

Sugeng tindak, Mbah Sirin, mugi husnul khotimah lan amal ibadahipun ditampi Allah Subhanahu Wata’ala. Mugi angsal panggenan sing mulya ing ngarsane Gusti Kang Maha Kuasa.

Bendera kuning di pojok pagar rumah duka


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...