Langsung ke konten utama

Tantangan HuManIs AMP

Dari balik layar Zoom Meet HuManIs AMP YKPN tadi malam (20:00—21:15 WIB), mencuat sebersit cerita sedih bahwa HMI Komisariat AMP YKPN telah lama vakum. Pandemi Covid-19 tentu layak dituding sebagai biang keroknya.

Selama Covid-19 (2020—2022), sekolah, kuliah, bekerja bahkan meeting pun hanya bisa dilakukan secara daring. Aplikasi Zoom dan Google Class Room laris manis bak kacang goreng. Entah berapa juta orang mengunduhnya.

Zoom Meet yang difasilitasi Kangmas Suhartono Rosjid, ini menjadi ajang silaturahim Halal Bihalal Idulfitri 1444 H di antara alumnus HMI Komisariat AMP YKPN yang terpencar berjauhan. Dengan sukses dunia akhiratnya masing-masing.

Yang menarik, di layar ponsel terlihat wajah alumnus HMI AMP YKPN begitu kentara. Wajah tawadlu dan istikomah, rambut perak pertanda matang disepuh zaman, wajah penuh perjuangan meraih sukses, wajah para pensiunan.

Akan tetapi, sebelum pandemi Covid-19 pun dalam usaha rekruitmen kader HMI bukan pekerjaan mudah. Organisasi besutan Lae Lafran Pane dan warisan boomers ini kurang diminati generasi millennial dan Gen-Z. Komisariat jadi sepi.

Sepi dari kader baru, sepi kegiatan, bahkan mungkin sepi dari program apa pun. Anak kuliah zaman now cenderung lebih asyik bermain media sosial. Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan YouTube lebih diminati oleh mereka.

Lain halnya ormas (organisasi massa). Tanpa diajak pun ada kecenderungan orang untuk menjadi anggota atas keinginan sendiri, kesadaran sendiri. Menururt data Kemendagri, jumlah Ormas di Indonesia ada 431.465.

Ormas di Indonesia tersebar di berbagai daerah. Latar belakang pendiriannya berbeda-beda. Ada ormas nasional, keagamaan, kepemudahaan, budaya, hukum, sosial, lingkungan, dll. Ada yang menginduk ke ormas terbesar.

Tiga ormas terbesar di Indonesia adalah NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, dan Pemuda Pancasila. Banser (barisan serbaguna) NU di bawah binaan Gerakan Pemuda Ansor memiliki anggota cukup besar. Kiprahnya pun besar.

Sayangnya, kiprah mereka sebagai sayap ormas terbesar di Indonesia kontroversial karena tindakan inkonstitusional, kerap membubarkan pengajian ustaz. Perilaku kurang terpuji itu tak pelak menuai cibiran dari masyarakat umum.

Miris memang bila dibandingkan dengan ormas HMI di era Orde Baru. Di masa itu, HMI mampu mencetak generasi emas seperti Nurcholis Madjid, Agussalim Sitompul, Akbar Tandjung, Amidhan, A. Dahlan Ranuwihardjo dan lain-lain.

Meskipun tidak disukai rezim Soeharto karena HMI menolak sistem azas tunggal Pancasila, toh pada akhirnya azas tunggal diterima juga dengan semangat keterpaksaan. Dan Akbar Tandjung masuk anggota kabinet, jadi Menpora.

Pasca-reformasi, karier politik Akbar Tandjung seperti tagline Motor Yamaha, “semakin di depan.” Melesat bak mobil formula1 di lintasan balap. Kursi Ketua DPR RI bisa ia duduki dengan anggun. Itu buah manis sebagai kader HMI.

Walakin, sesudahnya HMI seperti kehilangan ruh, kurang berkibar kiprahnya di kepemimpinan nasional. Setelah era Nurcholis Madjid dan Akbar Tandjung, ada setitik harapan pada sosok Anas Urbaningrum. Namanya cukup moncer.

Terlebih ketika ia jadi Ketum Partai Demokrat. Sayangnya, Anas tersandung kasus tindak pidana, ia dijebloskan ke dalam bui. Di bawah Anas sudah tak muncul lagi tokoh lain karena sama sekali tidak mendapat ruang dari penguasa.

Jangankan memunculkan tokohnya di kepemimpinan nasional, sekadar mengajak untuk menjadi kader melalui kegiatan batra (basic training) saja susah. Seperti yang diungkap Kangmas Saptya Eka Haryadi (Eka HuManIs).

“Bahkan dibiayai pun pada kegiatan batra, masih tidak menarik minat para mahasiswa.” Intinya, hal ini menjadi tantangan kita para alumnus HuManIs AMP untuk terus mengedukasi betapa besar manfaatnya berorganisasi.

Deretan nama generasi emas HMI di atas adalah contoh nyata manfaat besar bergabung di HMI. Dari HuManIs AMP YKPN pun banyak alumnusnya sukses dalam karier. ASN, BUMN, BCA Bank, Wirausaha, dsb. Kurang opo coba.

Dalam batra –kini berganti LK (Latihan Kepemimpinan)–, diajarkan NDP (nilai dasar perjuangan) HMI yang intinya Beriman, Berilmu, dan Beramal. Rasanya tiga unsur inilah pemacu sukses kanda-yunda-dinda alumnus HMI AMP.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...