Langsung ke konten utama

Betul nih ke UWRF?

Bermula di tanggal ini kabar kudapat bahwa kami berlima pemenang Hadiah Sastera Rancagé 2023 akan dihadirkan di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 18—22 Oktober 2023 nanti. Kang Apip dari Yayasan Kebudayaan Rancagé yang mengabarkan.

Wah, bungah dong? Tentu, je! Siapa sih yang nggak pengin ke festival yang pesertanya dari sepenjuru dunia. Penulis, sineas, pengamat atau sekadar pencinta sastra yang, tentunya mendapat undangan, akan hadir mengikuti kegiatan festival beberapa hari tersebut.

Saya sudah lama tahu tentang UWRF dan membatin bagaimana, ya, supaya bisa hadir meski sekadar buat menonton doang. Tidak mudah ternyata, mesti dapat undangan dari penyelenggara atau minimal ada parapihak yang merekomendasikan untuk diundang ke sana.

Nah, saya –yang bukan siapa-siapa– ini siapa coba yang mau merekomendasikan? Tetapi beruntung saya adalah satu dari lima pemenang Hadiah Sastera Rancagé yang semula penyerahan piagamnya akan dilaksanakan di Bandung, namun dialihkan ke Bali bareng UWRF.

Wah, menunggu waktu dari Mei hingga Oktober nanti, nggak sabar rasanya. Dalam hati berkata, “Wah, tidak sekadar membatin bagaimana bisa ke sana ini mah, tetapi benar-benar akan mewujud nyata.” Saya nggak bisa menyembunyikan rasa girang ini.

Sejak mengirimkannya ke email penerbit, hampir satu tahun saya menunggu apakah buku sastra bahasa Lampung saya akan diterbitkan atau tidak. Tidak pernah saya tanyakan ke penerbit, hanya sabar saja menunggu hingga dapat WA dari owner penerbit.

Pesan WA 10 September 2022 itu berbunyi, “Bang, haga ngelajuko terbit buku ni Abang.” Ya, proses dan seterusnya hingga dikasih kabar 31 Januari 2023, buku “Singkapan, Sang Rumpun Sajak” memenangi Hadiah Sastera Rancagé kategori sastra berbahasa Lampung.

Hadiah akan diserahkan (pada waktunya) dan seterusnya, sampai akhirnya ada kabar dari Kang Apip tersebut. Maka, keterkejutan dan bungah tak tepermanai tidak bisa saya sembunyikan. Masih Mei ini, tetapi pikiran sudah mengejar-ngejar dekat ke pertengahan Oktober.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...