Langsung ke konten utama

Sandal Hilang

Kemarin malam takziah tiga hari berpulangnya Bapak Drs. Asrori Abu Hanifah, hujan deras melanda selagi salat Isya berlangsung. Dari masjid di seberang rumahnya, jemaah dijemput pake payung, diantar ke rumahnya untuk tahlil.

Bubar tahlil sandal saya tidak ada lagi di tempat parkirnya. Sepertinya ada yang meminjam pakai sementara, sewaktu membagi-bagikan kue kepada jemaah yang ada di bagian luar dan jalan depan rumah. Pulang terpaksa saya nyeker.

Takziah dilanjutkan hingga tujuh hari. Malam ini adalah hari keempat. Sewaktu memarkir sandal yang kupakai, saya lihat sandal yang tadi malam raib telah ada, menunggu tuannya. Dalam kesetiaan, tak ada kekuatan lain bisa memisahkan.

Jadinya, selesai tahlil tadi saya pulang dengan dua pasang sandal. Sepasang memang yang saya pakai ke masjid dan sepasang yang kemarin malam raib saya tenteng. Sandal uzur sebenarnya sih, tetapi kenang-kenangan dari Mekah.

Sandal itu dahulunya milik almarhum suami ayunda saya. Sewaktu naik haji sandalnya hilang entah di mana. Ia lalu membeli sandal di dekat masjidil Haram. Setelah beliau wafat, oleh ayunda sandal itu diwariskan kepada saya.

Sandal hilang di masjid itu jamak terjadi, sudah tiga kali saya mengalaminya saat salat Jumat. Kejadian sandal hilang di rumah duka saat takziah tahlilan juga tidak sedikit orang mengalaminya. Kemarin malam saya mengalaminya.

Itu tuh bukan benar-benar hilang kena gondol, melainkan sekadar dipinjam pakai orang saat mendistribusikan piring kue atau nasi kotak kepada jemaah di halaman atau jalan depan (bagian luar rumah duka), seperti sandal saya itu.

Ada anekdot begini, “Kalau sandal hilang di masjid, itu hanya musibah kecil. Tetapi, kalau sandalmu tidak pernah ada di masjid, itu musibah sebenarnya.” Maka, tidak usah terlampau merisaukan bila sandal kalian hilang di masjid.

Ilustrasi foto sandal (foto milik atsar.id)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...