Langsung ke konten utama

Limus Pantis

Buah ini dalam bahasa-ibu saya di Ranau (OKUS, Sumsel) disebut limus. Saya tidak menduga ketika mengetikkan kata limus di situs pencarian Google, ternyata ada. Rupanya, maknanya pun mengarah ke pengertian yang sama, yaitu buah limus mirip dengan buah mangga. Walau keduanya memiliki aroma yang kuat, perbedaannya, buah mangga rasanya manis, sedangkan limus rasanya masam.

Menggunakan nama limus barangkali hanya di daerah tertentu saja. Secara nasional ada yang menyebutnya bacang, pakel, atau mangga bacang. Meski rasanya sedikit masam, banyak yang menyukai bahkan mengidamkannya. Maka, ketika menjumpai jualannya di pasar akan merasa euforia dengan membelinya. Seperti saya ketika kebetulan menemukannya di Pasar Tani, Kemiling, tadi pagi.

Dari segi ukuran, buah limus ada yang kecil, sedang, dan besar. Di Ranau, buah limus yang berukuran kecil disebut limus pantis. Pantis adalah sebutan untuk buah lerak dalam bahasa Ranau. Karena yang saya beli di Pasar Tani tadi pagi berukuran kecil, saya menduga itu limus pantis. Seingat saya, limus pantis adalah yang rasanya manis. Tetapi, saya kecele rupanya, yang saya beli rasanya tetap masam.

Mengapa saya membeli bila menemukan limus di pasar? Karena buah ini enak sekali dibuat sambal. Makan dengan sambal limus akan terasa lebih nikmat dan lebih berselera. Selain limus, buah yang sering saya buat sambal adalah mangga kweni dan nanas. Sambal buah yang bahannya salah satu dari tiga buah itu, biasanya disandingkan dengan pindang, yaitu menu khas Meranjat (daerah Ogan Ilir).

Selain tiga buah-buahan di atas, sebenarnya ada satu lagi buah dari spesies mangga, yang juga umum dibuat sambal yaitu buah binjai. Buah binjai yang sudah matang memiliki aroma yang kuat. Dari kejauhan saja sudah bisa tercium dan dikenali. Rasanya yang masam tidak bisa dikonsumsi seperti halnya memakan mangga. Satu-satunya cara menikmatinya adalah dibuat sambal, untuk teman makan.

Tiga buah limus pantis dari Pasar Tani tadi pagi telah nangkring di wadah buah. Aromanya menggoda ingatan akan limus pantisnya Dalom Tuku di Ranau saat saya SD.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...