Langsung ke konten utama

Buku Esai Itu

Ilustrasi, image source: Pahamify

Kemarin siang, pukul 12:58, selagi saya tadarus bakda salat zuhur, masuk pesan wasap dari Jauza, berkaitan dengan buku hasil lomba menulis esai ILPN yang ditaja oleh DKL bekerja sama dengan Perpusnas bulan Juli 2023. Woi, wes suwi iki.

Saya pikir buku sedang dalam proses pencetakan dan penerbitan oleh Perpusnas, gak taunya baru mau diajukan ISBN dan karena itu dibutuhkan tandatangan di atas materai 10000 pada form yang harus diisi lengkap. Oalah, yak opo, Rek!

Oleh Jauza, saya yang diminta mengisi form tersebut sekaligus membubuhkan tandatangan di atas materai. Saya tutup kitab suci yang sedang saya baca kemudian melepas sarung mengganti dengan celana, lalu gegas ke gerai fotokopi.

Saya buka form di layar PC lalu menuliskan apa yang diminta sesuai keterangan tertera di situ. Kemudian saya print dan menempelkan materai serta membubuhkan tandatangan. Saya scan lalu mengirimkannya ke wasap Jauza pukul 15:53.

Ada enam tulisan sudah saya posting di blog ini berkaitan dengan lomba menulis esai bertema “Membangun Bumi Ruwa Jurai dengan Kearifan Lokal Lampung” itu. Berturut-turut diposting pada tanggal 15/7, 18/7, 27/7, 5/8, 6/8, dan 15/8.

Empat tulisan saya kasih label “esai ruwa jurai” dan dua tulisan saya labeli “workshop” karena sebelum pengumuman pemenang lomba, peserta wajib ikut workshop lalu diminta merevisi karya esainya masing-masing lalu mengirimkan ulang.

Alangkah lama harus menunggu “Buku Esai Itu” bisa dibaca. Sementara kolaborasi melahirkan buku “Terkenang Kampung Halaman – Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran” lumayan cepat selesai. Bukunya pun sudah khatam saya baca.

Buku yang sudah saya khatamkan ini, sudah saya ketahui filosofi dari masing-masing tulisan pada keseluruhannya. Masalah bagus atau tidak, enak dibaca atau tidak, masing-masing orang berbeda penilaian berdasar taste yang melekat pada isi.

Ya, isi dari sebuah karya tulis (apa pun genrenya) tidak ubahnya seperti rasa pada suatu makanan. Antarpersonal akan berbeda dalam kesimpulan setelah membaca karya tulis atau mencicipi suatu masakan. Akan relatif beda. Tidak bisa digeneral.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...