Langsung ke konten utama

Krécék Nénék

Kaleng biskuit jenama satu ini pintar banget mengecoh tetangga. Mereka kira asli, gak tahunya berisi krécék nénék. (foto: istimewa)

Banyak orang luput memahami makna, bahwa mudik ke kampung halaman pada Hari Raya Idulfitri adalah momen penting yang sedapat mungkin janganlah diabaikan. Terutama bagi mereka yang masih punya orang tua, utamanya ibu yang pada kedua telapak kakinya terletak surga.

Sebagaimana sering kita dengar pada kultum ustaz sebelum salat Tarawih, khutbah jumat, ceramah ustaz pada perayaan hari besar Islam atau kita tonton di YouTube, bahwa sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu, maka berbaktilah kepada ibumu.”

Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami, “Berbaktilah kepada ibumu (lebih dahulu) karena sungguh ada surga di bawah kedua kakinya!” Itu peristiwa saat Mu’awiyah menyampaikan keinginannya ikut berperang bersama Rasulullah SAW dan mohon nasihat Rasul SAW.

Rasulullah SAW lalu bersabda kepada Mu’awiyah, “Apakah kamu masih mempunyai ibu? Mu’awiyah pun menjawab, “Ya, masih.” Lalu, Rasulullah SAW memberi nasihat ke Mu’awiyah untuk mendahulukan berbakti kepada ibunya terlebih dahulu daripada ikut berperang bersama Rasulullah SAW.

Nah, berkaitan dengan hadis Rasulullah SAW di atas, konteks mudik ke kampung halaman saat Hari Raya Idulfitri sejatinya adalah momen penting untuk menangguk keberkahan berbakti kepada ibu yang pada kedua telapak kakinya terletak surga yang kita rindukan memasukinya.

Maka, bagi ibu (dan juga ayah) di kampung halaman, kehadiran kita di samping mereka pada momen Hari Raya –kita sungkem kepada mereka– lebih mereka nantikan ketimbang oleh-oleh yang dipersembahkan bagi mereka. Inti mudik adalah pulang ke jati diri, ke asal muasal diri, orang tua.

Seperti dalam –Kardus Kosong Cucu– pada postingan kemarin, yang saya angkat dari kisah suatu keluarga yang mudik ke kampung halaman sowan kepada ibu (nénék) di Hari Raya Idulfitri, namun hanya membawa kardus kosong sebagai simbol seolah bawa oleh-oleh untuk sang nénék.

Padahal, oleh-oleh apa pun yang dibawa anak dan cucunya, bagi ibu/nénék bukanlah hal yang pokok, melainkan kehadiran membawa rasa rindu. Sebab, bagi seorang ibu rindu anak atau rindu cucu lebih berharga ketimbang oleh-oleh yang harus diada-adakan meski terpaksa.

Toh ibu atau nénék juga memiliki perasaan yang sama seperti anak dan cucunya. Yaitu ingin membuat kesan anak dan cucunya senang. Maka, ibu atau nénék pun menyiapkan kaleng Khong Guan di meja ruang tamu buat suguhan bagi tamu yang datang di hari lebaran. Isinya apa? Rengginang!

Rengginang atau dalam bahasa Jawa disebut krécék apabila disuguhkan dalam kaleng Khong Guan sedikit akan naik kelas. Krécék nénék acapkali melahirkan déjà vu. Rasanya yang gurih, tentu lebih menyehatkan daripada jajanan anak-anak sejenis chicky-chicky-an. Gak percaya, coba saja.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...