Langsung ke konten utama

Festival Sastra Yogyakarta

Melintas di wall sejak beberapa hari lalu, akun IG FSY (@festivalsastrayk) membagikan ajakan meramaikan sayembara puisi nasional dengan tema Yogyakarta. Saya membayang-bayangkan apa, ya, tentang Jogja. Oh, tentu saja banyak hal bisa jadi bahan puisi yang bagus.

Setidaknya, menurut saya bagus. Walau belum tentu bagus menurut dewan juri para sastrawan tersohor. Yaitu, Joko Pinurbo, Ni Made Purnama Sari, dan Ramayda Akmal. Siang kemarin, tiba-tiba jari saya gatal untuk menari di keyboard laptop. Mengetiklah saya, kata berloncatan dari dalam kepala, terbirit-birit.

Satu puisi jadi, lanjut puisi kedua. Belum sampai selesai azan Zuhur mengusik telinga. Saya hentikan mengetik, setelah berwudu langsung gegas ke masjid. Usai Zuhur lanjut dan akhirnya puisi kedua pun jadi. Puisi ketiga mengalir begitu saja. Diksi meliuk-liuk bagai layang-layang dipermainkan angin senja yang sedikit nakal.

Setelah sekilas menyapukan mata untuk penyuntingan akhir, tidak ada typo dan sedikit menukar beberapa kalimat, akhirnya langsung mengisi formulir di Google Form. Mengunggah 3 puisi, surat pernyataan keaslian naskah, foto KTP, dan submit. Jadi deh ikut meramaikan sayembara puisi nasional FSY. Tenang sudah aqunya.

Sebelumnya, saya jalankan SOP, ketentuan yang panitia tetapkan, yaitu wajib follow IG @festivalsastrayk, membagikan informasi sayembara di IG masing-masing. Tiga keping gambar informasi sayembara saya bagikan dengan me-mention @festivalsastrayk dan mencolek empat kawan. Begitulah ketentuannya.

Jadi, dalam minggu ini ada dua sayembara saya ikuti. Pertama, menulis esai “pelajaran berharga” atau life lessons penerbit Pustaka Diomedia, sudah saya kirim Senin, 11/9/2023 pukul 11:45 WIB. Kemudian, event yang kedua, ikutan sayembara puisi nasional Festival Sastra Yogyakarta 2023, dikirim Kamis, 14/9/2023, sore.

Ini sebagai batu uji selanjutnya setelah 15 Agustus 2023 lalu saya “disebut-sebut” sebagai juara 1 menulis esai Inkubator Literasi Pustaka Nasional (ILPN) Lampung 2023 kerja sama antara Dewan Kesenian Lampung dan Perpusnas Press, dengan tema “Membangun Bumi Ruwa Jurai dengan Kearifan Lokal Lampung.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...