Langsung ke konten utama

Overprotective

Gambar sekadar buat penghias, Tarra Budiman saat kali pertama menjadi ayah, tak urung membuat dirinya jadi overprotective. (Foto: Vidio)

“Anak adalah peniru yang ulung”, demikian pernah saya baca atau dengar dan saya kutipkan untuk sebuah memoar yang saya tulis. Di bidang apa saja, misal, bisnis, politik, pendidikan, seni, dan berbagai talenta lainnya. Ada yang orang tuanya aktor/aktris, anaknya mengekor. Ada yang orang tuanya pengusaha, anaknya jadi juga. Yang orang tuanya pendidik atau birokrat, anak-anaknya kemudian hari juga begitu.

Banyak bukti tentang hal itu. Seorang anak akhirnya mengikuti jejak Ayahnya yang seorang tentara. Sekadar menyebut satu nama sebagai contoh, AHY, misalnya. Mengikuti jejak SBY, sang Ayah, yang seorang jenderal. Namun, sayangnya karier militer AHY tumbang di tengah jalan karena SBY berkehendak agar AHY terjun ke politik. AHY pun ikut kontestasi pemilihan Gubernur DKI tahun 2017, kandas di putaran pertama.

Melanjutkan karier politik yang kadung dicemplungi, AHY jadi ketua Partai Demokrat (PD) warisan si Bapak. Hampir saja tumbang di tengah jalan andai saja upaya Moeldoko ‘membegal’ PD berhasil. Moeldoko kembali kalah setelah PK yang diajukannya ke MA mendapat penolakan. Akhirnya, AHY tetap menduduki kursi ketua umum partai dan membuatnya punya posisi tawar pada pemilihan Presiden 2024.

Posisi tawar itu tentu saja kuat mengingat AHY adalah ketua partai, bisalah jadi bakal calon wakil presiden. Dan, konon sudah dipinang Anies Rasyid Baswedan (ARB) melalui surat resmi yang ditulis tangan. Mulailah usaha menarik simpati massa diupayakan dengan membuat kolaisi antara tiga partai, Nasdem, PKS, dan PD. Mensosialisasikan Anies-AHY sebagai bakal pasangan capres dan cawapres 2024.

Sayangnya, pasangan ini tidak kunjung dideklarasikan. Kubu PD sepertinya hasratnya keliwat menggebu-gebu untuk menjadikan AHY sebagai cawapres. Kubu PKS selow padahal mereka juga punya hak yang sama buat mengajukan nama cawapres dari petinggi partai. Ketua partai Nasdem Surya Paloh merasa seperti ‘ditekan’ oleh kubu PD. Lama-lama merasa gerah juga dia. Maka, dicarilah ‘jalan pintas’ agar lolos dari 'tekanan'.

Agar Anies bisa meraup suara di kalangan Nahdliyin, diupayakan untuk mendekati setidaknya empat nama bakal calon wakil presiden, yaitu Khofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid, AHY, dan KH. Said Aqil Siradj. Bahkan Susi Pudjiastuti pun sempat masuk radar pilihan kandidat. Dan, PD menyatakan tidak masalah bila Anies memilih salah satu dari nama-nama tersebut di luar AHY. No problem, artinya.

Tiba-tiba Surya Paloh seperti menemukan ‘jalan pintas’ itu, digaetlah Cak Imin sebagai cawapres dan langsung dideklarasikan di Hotel Sultan, Jakarta. Kontan saja kubu PD merasa dikhianati. Katanya, sih, begitu, terlepas benar tidaknya ada pengkhianatan. Surat Anies meminta AHY untuk bersama-sama di pilpres 2024 yang tanpa tanggal itu viral di media sosial setelah ada deklarasi pasangan Anies-Muhaimin.

Majelis Tinggi PD langsung menggelar rapat di Cikeas. Hasilnya, PD keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). SBY, Bapaknya AHY, geram. Membuat pernyataan di muka umum, menarasikan adanya pengkhianatan sampai-sampai keluar peribahasa “musang berbulu domba”. Ini mencerminkan Bapak yang overprotective. Kader PD pun ikut-ikutan berisik di akun media sosial Twitter (X)-nya masing-masing.

SBY juga menyinggung "Pak Lurah" dan menuding deklarasi Anies-Muhaimin seolah ada "mastermind"-nya. Pada pidato kenegaraan 16 Agustus, Pak Jokowi "curhat" soal capres karena ada politikus menarasikan "belum ada arahan Pak Lurah" yang membuat Jokowi bertanya-tanya siapa itu "Pak Lurah", ia menyadari ternyata dirinya. Apakah SBY menuding Jokowi sebagai "dalang" di balik deklarasi Anies-Muhaimin?

Kalau dianalogikan seorang anak yang bermain bola dan Bapaknya duduk menonton dari tribun. Ketika melihat anaknya kena tackle di depan gawang, si Bapak turun dari tribun dan lari masuk lapangan kemudian marah-marah kepada anak yang melakukan tackling. Padahal, anaknya santai, tidak merasakan sakitnya kena tackle. Dasar aja si Bapak yang overprotective. Gimana anaknya bakal jadi pemain bola yang baik?

Kebayang nggak, sih, kalau misalnya AHY benar jadi wapres, apakah Bapaknya kelak nggak akan ikut ngatur-ngatur? Rasanya, siapa yang bisa menjamin nggak akan. Lah, wong, kena tackle bacawapres aja Bapaknya nguamuk ngono, je. Main politik, kok, disamakannya dengan main bola, nggak boleh anaknya kena tackle. Ngeliat Bapak yang baper kayak gitu, orang senang karena mendapat tontonan lucu.

Ada analogi satu lagi, ibarat anak nggak mau jadi ketua kelas, tetapi Bapaknya maksa. Karena dengan menjadi ketua kelas, si anak bisa leluasa ikut kejuaraan tertentu, misalnya. Nah, iya, kan? Dengan jadi ketua partai, AHY bisa nyalon gubernur walau gak kepilih. Bisa nyapres walau gak kuat nilai tawarnya. Wong, untuk nyawapres aja nggak ada yang nawar. Cobalah tawarkan ke mana-mana dan lihat hasilnya.

Analogi lain, nih, wong sedang senang-senangnya menekuni badminton, eh, oleh Bapaknya disuruh pindah ke bola. Sedang bagus-bagusnya karier di militer disuruh berhenti untuk ngurus partai. Ibarat kata, anaknya nggak seberapa minat di bidang eksakta, oleh Bapaknya disuruh kursus kumon agar pintar itung-itungan pada pelajaran matematika. Si anak, sih, nurut saja, demi menyenangkan hati si Bapak.

Dengan uraian ini, berarti premis di atas, “Anak adalah peniru yang ulung” untuk karier militer, AHY hampir mencapai sasaran seperti Bapaknya yang jenderal. Tetapi, untuk masalah politik sepertinya kurang cocok disematkan kepada AHY. Tahan banting di bidang militer belum tentu bisa di bidang politik yang penuh intrik, tackle-menackle, dan aneka tipu muslihat. Tidak ada musuh abadi dan kawan abadi. Paham? 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...