Langsung ke konten utama

Buku dan Minat Baca

Saat buku puisi masa pandemi Antologi Rasa akan terbit tahun 2020 dahulu.

”Setiap bulan sedikitnya saya membeli 300 buku,” demikian budayawan Taufik Rahzen bertutur di sebuah acara bertajuk ”Temu Blogger Buku” di pertengahan Mei 2008. ”Kadang-kadang bisa juga sampai 600 buku,” tambahnya. Ratusan pengunjung yang terkejut mendengar angka 300, dibuatnya lebih terperangah lagi.

Acara yang ditaja di Kafe Matahari, Jakarta, tersebut memang diselenggarakan oleh para kutu buku yang tidak hanya hobi baca, tapi juga rajin membuat ulasan di blog tentang buku yang dibacanya. Paslah memang acara itu bertema ”Temu Blogger Buku” karena yang hadir sebagian besar para blogger yang suka baca buku.

Keterkejutan mendengar pernyataan Taufik Rahzen yang setiap bulan membeli 300 bahkan 600 buku, penggila buku yang berani-beraninya ngaku kutu buku, tentu sedikit pakewuh jika ternyata hanya bisa membeli 2 atau 3 buku dalam sebulan. Lebih-lebih bagi orang yang masih menganggap buku hanyalah kebutuhan sekunder.

Di masa pandemi Covid-19, yang mengharuskan orang stay at home berbulan-bulan, membaca buku bisa menjadi alternatif hiburan selain menonton televisi. Tetapi, dengan tidak boleh keluar rumah, tentu menghalangi orang untuk pergi ke toko buku. Beruntungnya belanja buku bisa dilakukan secara online melalui beberapa marketplace.

Hanya saja, di masa pandemi Covid-19, banyak hal lebih prioritas untuk dibeli ketimbang buku. Apalagi pandemi berdampak tidak hanya terhadap kesehatan, tapi juga perekonomian masyarakat. Dengan tidak boleh keluar rumah sama dengan tidak boleh beraktivitas mengais rezeki. Begitu mematikan penghasilan pekerja harian.

Sehingga alih-alih membeli buku, untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit manakala sumber penghasilan terputus. Kecuali kalau punya tabungan banyak di rekening, belanja buku bagi para kutu buku bukanlah suatu ganjalan. Namanya juga kutu buku, yang senantiasa akan merasa ada yang kurang kalau tidak baca buku.

Tentu saja, semuanya terpulang kembali kepada ”minat baca” terhadap buku. Secara umum semua orang punya minat baca, namun yang dibaca adalah status orang di akun media sosial seperti facebook, Instagram, Twitter, atau pesan WhatsApp. Kalau minat baca terhadap buku, hanya segelintir orang yang masuk kategori khusus.

Keranjingan orang pada media sosial telah menggeser kesenangan membaca buku. Apalagi pukau media sosial menyihir orang untuk lebih senang belanja fesyen. Iklan-iklan fesyen yang berseliweran di laman facebook atau Instagram lebih menarik perhatian. Tidak berhenti hanya tertarik, tapi berakhir pada eksekusi pembelian.

Media baru yang kian menjauhkan orang dari buku adalah YouTube dan TikTok. Orang dengan rentang usia anak-anak hingga dewasa lebih keranjingan nonton yutub, nge-tiktok, atau main gim daripada baca buku. Tak bisa dimungkiri memang, era digital memunculkan kesenangan baru. Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan.

Di samping itu, merosotnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19, prioritas belanja barang lebih diutamakan pada kebutuhan pokok. Mahalnya harga buku sebagai akibat naiknya harga kertas dan komponen cetak lainnya, memicu masyarakat sedikit mengerem keinginan menambah koleksi buku. Pengunjung toko buku pun ikut merosot.

Walaupun semua penerbitan buku memiliki akun Instagram dan rajin mengunggah buku-buku baru terbitannya, namun tetap saja para follower hanya sebatas suka memberi tanda hati daripada melakukan pembelian buku-buku yang di-post. Tegasnya hanya sebatas membaca akun media sosialnya, alih-alih minat sama bukunya.

Kembali kepada cerita kesenangan Taufik Rahzen terhadap buku. Pria yang lahir di Sumbawa ini, di masa kecilnya rela berjalan kaki sejauh 35 km demi bisa membaca buku. Bagi seorang kutu buku sejati, jarak yang jauh dan apa pun aral rintangan tak akan mengurungkan niatnya untuk menempuh. Asal dahaganya terhadap buku bisa terpuaskan.

Jarak sejauh itu kalau di masa sekarang ini tentu tidak begitu menciutkan nyali untuk menjalaninya. Tetapi faktanya, toko buku semakin sepi pengunjung. Artinya, sedekat apa pun jarak dan seberapa mudah pun mencapainya kalau tidak ada minat untuk mengunjunginya, ya, akan sepilah toko buku. Jadi, kuncinya memiliki minat baca.

Minat baca yang tinggilah yang mendasari Taufik Rahzen memiliki kebiasaan belanja buku hingga 300 bahkan 600 buku per bulan. Perkara tidak semua buku dibaca tuntas, itu bukan soal. Bisa jadi jangankan dibaca, sedang dibuka plastik segelnya pun belum sempat, sudah ada buku baru lagi. Kalau sudah hobi, apa mau dikata.

BKP, Minggu, 6 September 2020

sumber: facebook.com/ tanggal 7 September 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...