Langsung ke konten utama

Syarat Tanpa Tapi

Menulis puisi adalah memberdayakan imajinasi. Puisi non tematik, rasanya saya tidak begitu kesukaran mengarangnya, diksi yang biasa dipergunakan sehari-hari akan membentuk kalimat dengan sendirinya setelah saling menemukan kemistri bunyi. Hanya butuh sedikit revisi, jadilah puisi.

Ketika dihadapkan pada even lomba, sayembara atau apa pun sebutannya, saya sedikit merasa terbebani bila ada persyaratan dan tema tertentu. Beruntungnya hanya sedikit sehingga dengan mengerahkan kemampuan yang minimalis, puisi sederhana pada akhirnya tercipta sementara.

Sementara di sini maksudnya masih setengah matang. Agar benar-benar matang maka butuh beberapa kali bongkar pasang, self editing, tukar tambah atau gali buang. Puisi yang setengah matang dibongkar dan pasang ulang dengan menukar kata hasil penggalian, kata yang tak terpakai dibuang sayang’.

Dari beberapa even sayembara menulis puisi, pada akhirnya puisi yang matang yang tentunya dikirim ke e-mail panitia. Puisi yang tidak benar-benar puitis, tetapi yang tidak asal jadi juga. Lolos kurasi atau tidak itu nomor tujuhbelas, sedangkan ekspektasi jangan jadi sebuah beban yang memberatkan.

Beban, sesuatu yang dipikul, dijunjung, dan sebagainya yang memberatkan. Karena itu, saya membebaskan diri dari ekspektasi agar tidak menjadi beban. Kirim naskah ke even lomba atau sayembara, ya, kirim saja. Lepaskan karya walaupun ada syarat nanti akan menjadi hak milik panitia.

Rasanya berat hati, ya, karya kita kok jadi hak panitia. Hak kekayaan intelektual apa gunanya. Tetapi, itu ketentuan atau syarat yang mesti diikuti oleh peserta tanpa kecuali. “Syarat tanpa tapi” kurang lebih begitu saja mereknya. Jadi, tidak boleh ada ‘tapi-tapi’an, ikuti saja alurnya ke mana pun muaranya.

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...