Langsung ke konten utama

Saksi di Pengadilan Akhirat

Ilustrasi, ss Ringkasan AI.

Ya, namanya juga lansia. Kira-kira komentar seperti itu yang pantas diucapkan. Tapi, saya hanya berani membatin belaka, tidak sampai hati mau mengungkapkannya. Ora penak je...

Jadi, ceritanya, WAG HuManIs yang saya ini tergabung di dalamnya, memiliki semacam “kewajiban” setor bacaan Al-Quran periode mingguan atau satu pekan (one week one juz).

Pada putaran ke 170 (4—10 April) saya (harus) membaca juz 1 dan 15, sudah saya khatamkan pada putaran ke 179 (24—30 Juni) pada posisi sampai juz 10 dan 24. Tenang, dong, leha-leha.

Jadi, untuk juz 11—14 dan 25—30 saya tinggal setor saja. Bakda Magrib tadi saya mulai lagi baca juz 1 dan besok 16 untuk disetor entah putaran ke berapa nantinya. Menunggu saja.

Saya nggak mau tahu (bukan masa bodoh) apa alasan teman-teman yang lambat menyetor bacaan dan enggan juga untuk kepo mengapa pula ada yang ‘menyerah’ tidak bisa setor.

Ya, namanya juga lansia (meski tidak semua), ada anggota grup yang masih adik tingkat kami jauh. Apa kesibukan mereka tidak saya paham secara pasti, tidak pernah bertanya.

Ada yang masih aktif jadi akademisi dan kerja kantoran, swasta dan bisnis berarti masih ada kesibukan. Yang pensiun ada beberapa, tapi sama saja. Lambat juga menyetor bacaan.

Alhasil ada periode tertentu molor di luar jadwal yang diatur atau ditetapkan admin. Saya antara Magrib dan Isya dapat setengah juz, habis Subuh keesokannya setengah juz.

Sementara dalam setiap putaran saya setor dua juz sekaligus (juz 1 dan 15) yang keduanya saya baca bergantian. Hari ini (magrib dan subuh) juz 1 besoknya juz 15 dan seterusnya.

Karena itu, bisa dikatakan saya one day one juz, satu bulan saya khatam. Dengan demikian, saya lebih cepat empat putaran dari jadwal setoran di HuManIs. Kuncinya konsistensi. 

Menjaga konsistensi itu bagi sebagian orang barangkali teramat berat. Tapi, bila yakin di pengadilan akhirat nanti Al-Quran akan jadi saksi & memberi syafaat, tak ada yang berat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...