Langsung ke konten utama

Dari Halte ke Hati (1)

Berkendara di jalanan kota ini jadi teringat naik pesawat kena turbulensi. Persis sama. Turbulensi itu kan keadaan pesawat terguncang-guncang saat menerobos gumpalan awan tebal. Seperti berawan tebal itulah jalanan kota yang mulai padat kendaraan ini.

Berkendara di jalanan kota ini terguncang-guncang karena aspal yang terkelupas lalu menimbulkan lubang di sana sini atau karena jalan yang tidak rata oleh aspal buat menambal jalan yang berlubang itu. Jalan beraspal tambal sulam itulah wajah kota sesungguhnya.

Tampilan wajah yang buruk pada sebuah kota. Tapi, penghuni tubuh kota ini sepertinya enjoy saja menjalani hari-hari yang sibuk. Gegas di jalanan berlubang dan aspal tambalan ke mana pun menuju. Sekolah, kantor, ke luar kota, kabupaten yang banyak destinasi wisatanya.

Shilla tegak berdiri di halte BRT depan kampus Umitra. Satu-satunya halte yang pembangunannya kelar hingga memenuhi kategori representatif untuk difungsikan sebagaimana mestinya. Sayangnya, proyek BRT kota ini gagal total mewujud jadi moda transportasi kebanggaan.

Alih-alih kebangggaan, sekadar jadi moda transportasi andalan saja tangeh. Pada layar ponselnya Shilla memantau posisi gocar yang dia pesan untuk mengantar ke BKD, guru P3K itu hendak menyelesaikan urusan administratif kepegawaiannya, ada yang perlu dilengkapi.

Setelah Honda mobilio putih tiba dan Shilla masuk, bersamaan dengan menutup pintu dia terkaget pada sosok driver gocar. Cowok berpostur tubuh dengan tinggi 168 Cm, otot lengan padat dan dada sixpack, itu dahulu mahasiswa Fakultas Hukum, satu kampus dengan Shilla.

Panji, si driver gocar, waktu kuliah menunggang Yamaha Vixion, rumah indekos mereka di Kampung Baru tidak berjauhan. Atas kedekatan tempat indekos itu membuat mereka tidak saling asing. Pernah Panji memarkir Vixion-nya di depan indekos Shilla untuk bertamu.

Sayang, upaya coba-coba Panji untuk PDKT dengan Shilla tidak tepat waktu. Di saat yang sama Shilla sedang menerima ‘wakuncar’ cowoknya yang sudah memacarinya tiga bulan. Panji undur diri dengan tetap menaruh harapan suatu hari kelak bisa menggaet Shilla.

Sadar siapa calon penumpangnya, Panji meminta Shilla untuk duduk di kursi depan. Shilla turun dan pindah ke kursi samping driver. Sambil menjalankan mobil ke arah Tanjungkarang, Panji memulai obrolan dengan tanya apa kabar dan segala bagai basa-basinya.

Obrolan yang asyik dan nyambung mengarah ke pertautan kemistri sehingga jalanan kota yang beraspal tambal sulam, membuat guncangan mobil tidak mereka rasakan. Sampai kantor BKD Shilla turun dan hendak membayar ongkos, tapi Panji menampik dan menggratiskan.

“Dah, gak usah bayar, gratis,” kata Panji.

“Serius, nih, gua dikasih gratis,” kilah Shilla.

“Iya, buat Shilla yang manis, gratis, deh,” jawab Panji seraya menawarkan untuk menunggu.

“Ih, manis apaan… gak usah ditunggu, deh, nanti ganggu lo ngebid,” tegas Shilla.

“Ya, udah kalo gak mau ditemenin dan ditungguin, nanti kalo dah kelar WA aja, entar gua jemput, lo tunggu aja di lobby,” kata Panji.

Setelah saling melambaikan tangan ‘dada-dada’, Shilla masuk kantor BKD dan Panji melanjutkan ngebid. Panji hatinya ayem, Shilla sedang berstatus jomlo, Panji serasa menemukan pintu tol untuk melaju di jalan bebas hambatan menggaet Shilla.

Shilla juga diam-diam menyemai angan punya pacar lagi. Sudah empat tahun dia jomlo. Sejak cowoknya menghilang jelang dia ujian Tugas Akhir, dia mengosongkan hatinya. Banyak cowok nge-DM mengajak berkenalan, dia acuhkan saja.


#Cerita-Pendek-500-kata


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...