Langsung ke konten utama

Anatomi Sebatang Rokok (1)

 

Tulisan kali ini saya sarikan dari khutbah salat Jumat Prof. Dr. H. Yunasril, MA. di Masjid Raya Pondok Indah. Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu mengemukakan, ada satu hal yang kita tidak boleh lupa bahwa, selama umat Islam masih merokok, selama itu pula ekonomi umat akan terserap dengan mudah ke para taipan rokok.

Ilustrasinya begini, harga 1 batang rokok Rp2.000. Per hari seorang pecandu rokok mampu menghabiskan minimal 1 bungkus rokok (1016 batang). Jumlah rokok yang terjual setiap hari di Indonesia mencapai 90 juta bungkus. Yakinlah kita, bahwa setidaknya 80% dari itu pembelinya adalah umat Islam.

Bila satu bungkus rokok dibeli seharga Rp10.000 (meskipun faktanya harga sebungkus rokok di kisaran 2030 ribu rupiah per bungkus, maka setiap hari Rp900 miliar uang umat Islam masuk kantong para pemilik industri tembakau. Bila sehari Rp900 miliar terbakar, maka dalam 4 hari saja jumlahnya mencapai Rp3,6 triliun rupiah.

Bandingkan dengan total jumlah WAZIS yang terkumpul dari semua LAZIS di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, di tahun 2016 saja hanya bisa terkumpul Rp3,7 triliun. Itu artinya, jumlah ZIS yang dikumpulkan dengan susah payah selama satu tahun penuh ternyata sama besarnya dengan uang yang ‘dibakar’ lewat rokok selama 45 hari saja.

Itu hanyalah perhitungan sederhana, namun luar biasa mencengangkan. Seandainya umat Islam kompak dengan penuh kesadaran berhenti merokok selama satu pekan saja, hitung sendiri berapa uang rokok yang bisa terkumpul. Jika saja uang yang disisihkan itu digunakan untuk dana pemberdayaan umat, maka hasilnya akan luar biasa.

Bagaimana bila umat Islam berhenti merokok bukan hanya satu pekan, melainkan selamanya. Berapa besar potensi ‘uang rokok’ yang bisa disisihkan untuk dana pemberdayaan ekonomi umat? Yakinlah, insyaa Allah umat Islam akan maju.

Siapa saat ini yang mayoritas menguasai industri rokok dari hulu hingga hilir? Tentu kita tahu jawabannya. Mereka itu 40—50 tahun lalu disebut sebagai tauke atau cukong dengan kepemilikan satu gudang tembakau dan satu pabrik rokok.

Sekarang ini, anak-cucu mereka sebagai generasi kedua dan ketiga pengelola usaha, bukan sekadar tauke atau cukong, melainkan disebut taipan atau konglomerat yang tidak saja berkonsentrasi pada usaha rokok, tetapi berupa holding membawahi usaha perbankan, properti, perkebunan, pertambangan bahkan infrastruktur.

Coba saja cek data Majalah Forbes, berapa dari mereka yang masuk 50 besar orang terkaya di Indonesia atau bahkan Asia? Mereka jadi besar tidak lain dari hasil rokok yang dibeli oleh puluhan juta umat Islam. Sebagian dari orang terkaya di Indnesia tersebut adalah pemilik industri rokok yang memiskinkan umat Islam.

Selama umat Islam tetap merokok, taipan itu akan semakin kaya. Sementara buruh pabrik rokok nasibnya mengenaskan. Mereka miskin di bawah kaki para taipan yang luar biasa kaya. Siapa para buruh tembakau itu? Mereka mayoritas umat Islam juga. Padahal, bos-bos mereka kaya raya dari hasil jual rokok yang dibeli umat Islam.

Anatomi sebatang rokok. Para pecandu rokok sulit percaya bahwa, rokok itu beracun dan bisa membunuh penghisapnya secara pelan-pelan. Jika ada makanan atau minuman pada kemasannya dilabeli tulisan “Beracun dan Membunuh”, maka orang nggak ada yang berani membeli dan mengonsumsinya.

Anehnya, kendatipun pada kemasan rokok sudah ditulis peringatan “Rokok Membunuhmu” dan bla bla bla, orang tetap sudi membeli dan menghisapnya tanpa ragu. Jadi, umat Islam perlu disadarkan agar berkeinginan berhenti merokok. Alasannya bukan karena kesehatan, melainkan upaya pemberdayaan ekonomi umat.

Kalau alasan kesehatan kan para perokok nggak percaya. Kata mereka, tidak ada orang mati sehabis merokok. Yang kebanyakan terjadi, mati saat sedang atau setelah berolahraga. Lah, iya, mati saat sedang atau usai berolahraga itu kan pemicunya serangan jantung. Penyebab penyakit jantung itu adalah karena merokok.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...