Langsung ke konten utama

Hidup dan Mati


Ada dua peristiwa hari ini aku catat menghias laman blog ini. Peristiwa pertama adalah dipasangnya unit pendingin udara di kamar depan rumah. Ini tidaklah terlampau prioritas, tapi suhu kemarau jahat nian.

Udara sejuk di kamar tidur menjanjikan kenyamanan. Setidaknya begitulah anggapan secara umum dan pengalaman empiris orang-orang yang terbiasa tidur di kamar ber-AC. Kecanduan dan ketergantungan.

Tidur di rumah sakit bisa menemukan kenyamanan juga lho, bila dirawat di ruang VIP ber-AC. Kalau sembuh, alhamdulillah, tetapi kalau mati, innalillah. Itu namanya antara hidup dan mati di ruang ber-AC.

Peristiwa yang kedua, suatu kematian menghampiri. Seorang ibu pegawai Kanwil Dikbud Prov. Lampung. Belum pensiun, tapi sejak lama badannya digerogoti penyakit paru sehingga kian lama dia semakin kurus.

Terkadang saya masgul, tetangga sakit dan dirawat di RS tanpa dikabarkan di WAG. Baru tahu tatkala melalui TOA masjid diumumkan kematiannya. Tentu mengejutkan warga yang menyimak pengumuman.

Meski tidak terang benar saat namanya disebutkan, lamat-lamat saya mendengar nama suaminya juga disebut. Maka, saya menyimpulkan bahwa istri si "Anu" yang diumumkan meninggal di rumah sakit.

Meninggal di rumah sakit sehingga memakan waktu menyelesaikan "urusan" administrasi. Jelang azan Asar baru jenazah tiba di rumah. Liang lahad makam dalam proses digali. Tanahnya keras, disiram air.

Jenazah dimandikan, dikafankan, lalu dibawa ke masjid disalatkan. Pukul 17 lebih baru selesai dan kami antar ke pemakaman. Jelang magrib kami baru tiba di rumah. Nanti bakda Isya akan digelar tahlilan.

Dan, yang membuat nestapa, mengharu biru adalah suaminya juga sedang dirawat di RS berbeda. RS milik kampus dekat kompleks perumahan kami. Nah, ini jadi tanya, sakit si suami karena capek atau apa.

Atau karena faktor psikologis memikirkan istri yang sakit. Pikiran yang kalut kadang tidak disadari diam-diam menggerogoti daya tahan tubuh menjadi lemah sehingga akhirnya jatuh sakit. Ini berbahaya bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...