Langsung ke konten utama

Menikah dan Beranak

Decoration by Yogi

Selesai sudah urusan mengantarkan anak ke pintu gerbang pernikahan. Sabtu ini tadi di Gedung Grha Pramuka adik sepupu menggelar resepsi pernikahan putrinya yang Jumat pagi kemarin di-ijab-kabul-kan.

Kedua anaknya sudah menikah semua, anak yang sulung laki-laki sudah "menyumbang" seorang cucu perempuan. Lega deh kalau sudah menikah semua, tinggal menikmati masa-masa jadi anggota KPU.

KPU (kerja puwawang umpu) atau ada juga yang mengistilahkannya MC (momong cucu). Saya lihat, tetangga yang sudah pensiun, sebenarnya tidak benar-benar pensiun. Justru jadi KPU atau MC itu.

Saya juga melihat anak mereka yang sudah menikah dan berumah sendiri, saban pagi datang menitipkan anak-anaknya lalu ke kantor. Kesannya, rumah orang tua jadi semacam TPA (tempat penitipan anak) gitu.

Tentang hal ini, saya berdebat dengan teman "jalan subuh" karena ia tuh cenderung tidak setuju dengan anak yang menitipkan buah hatinya ke orang tua. "Dahulu kan sudah membesarkan mereka," kilahnya.

Dalam hati saya cuman bergumam, "Piye nanti kalau anak sampeyan sudah nikah dan punya keturunan, apa sampeyan keberatan bila dititipin anaknya buat dimomongkan seharian saat dia bekerja di kantor?

Bukankah menikah dan beranak itu dambaan setiap anak muda (cowok dan cewek). Dan mendapat cucu itu harapan setiap orang tua (ayah dan ibu)? Sebuah peristiwa lumrah yang gampang-gampang susah.

Kenapa gampang-gampang susah? Di luar sana ada jomlo yang jodohnya nggak sampai-sampai. Suami istri bertahun menunggu datangnya keturunan nggak "turun-turun" padahal usaha nggak kurang-kurang.

Kenapa setelah dambaan dan harapan itu diperoleh, lalu seperti melakukan pengingkaran. Orang tua kok nggak dengan senang hati menerima penitipan buah hati oleh anaknya buat dimomong. Piye tho, Lur.. Lur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...