Langsung ke konten utama

Rumah Sendiri

Kepada istri saya nge-joke begini, enak bener tidur kayak di rumah sendiri. Dia ketawa seraya menjawab, memang di rumah sendiri. Jadi, saya punya problem tidak bisa berpindah tempat tidur. Bila bepergian, pasti pada malam pertama semalaman saya nggak tertidur.

Pulang ke rumah orang tua di Ranau yang notabene adalah rumah masa kecil saya, niscaya pada malam pertama di sana semalam suntuk saya nggak tertidur. Meskipun mata dipejamkan tetap saja keterjagaan saya tetap seperti orang melek, seperti sedang tidak tidur.

Jika diasumsikan tidur adalah posisi badan telentang di tempat tidur, ya, benar sudah seperti itu yang terjadi. Tetapi, tidur yang saya maksud adalah tertidur pulas sehingga pagi datang. Jika di rumah sendiri bisa saya nikmati, tetapi jika berpindah tempat jadi ambyar.

Pernah kami satu rombongan dengan mobil hiace ke Bogor kondangan hajat mantu teman istri. Disediakan hotel tempat kami menginap. Saya bertiga teman dan sang driver, saya semalam suntuk tidak tertidur, teman mendengkur, sang driver juga sepertinya tertidur lelap.

Kemarin, pulang ke Pacitan, ‘penyakit’ nggak tertidur itu menemani sepanjang malam. Baru keesokan malam saya merasakan tidur sebenarnya. Anehnya, menginap di hotel yang nyaman di Jalan Malioboro pun ‘penyakit’ nggak tertidur seperti ingin ikut menikmati staycation.

Di bus pun, sepanjang perjalanan, saya tidak bisa tidur lelap. Kalaupun bisa tertidur, paling lama hanya 10 sampai 15 menit. Setelah terbangun, akan melek terus sampai tiba di tempat tujuan. Pergi maupun pulang sama saja. Sepertinya AC bus pun turut memengaruhi.

“Baiti jannati, rumahku surgaku.” Ungkapan filosofis ini familier di telinga kita. Bagi saya—yang punya problem nggak bisa berpindah tempat tidur—memiliki makna, senyaman-nyamannya di rumah orang lain ataupun hotel, masih tetap nyaman di rumah sendiri.

Salah satu cara mewujudkan ‘baiti jannati’ ikut anjuran Rasulullah SAW, dalam sabdanya berbunyi, “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sungguh syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya selalu dibacakan terutama Surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...