Langsung ke konten utama

Dunia Kegerahan

tangkapan e-paper disway.co Jumat, 21 Juli 2023

HARIAN DISWAY kemarin menurunkan berita dengan headline Dunia Makin Panas. 19/6/2023 di blog ini saya memposting tulisan berjudul Bumi Makin Panas. Yaitu perihal suhu ekstrem menerpa India (bagian Ballia, Bihar Timur, dan Uttar Pradesh) berkisar 42—44,7o.

WHO mulai khawatirkan dampak bagi manusia, tulis disway.co. Akibat suhu ekstrem di India, 96 orang tewas di dua negara bagian (Uttar Pradesh Tengah dan Timur serta Bihar Timur). Dan, pemicu kematian yang banyak itu sebab terjadi kerusakan sitem kesehatan manusia.

Hal itu yang dikhawatirkan oleh WHO. Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok, dan India adalah negara-negara yang mengalami peningkat suhu ekstrem. Di resor ski Alpe d’Huez, Prancis, termometer ada di angka 29,5o  Celsius. Padahal, biasanya stabil di angka belasan derajat saja.

Kalau dunia sudah ‘menjerit’ begini, masihkah tidak ada kesadaran bahwa pemanasan global sesungguhnya sudah dalam taraf darurat. Manakala suhu berkisar 35o Celsius bahkan ekstrem hingga 44o Celsius, pertanda ‘malapetaka’ kematian dan kebakaran di depan mata.

Dunia kegerahan sebagai judul tulisan kali ini tidaklah berlebihan. Menurut saya lho, tetapi entah juga, ya. Faktanya, suhu harian berkisar di 30—32o Celsius [di rumahquh] saja sudah terasa gerah apalagi di atas 35o Celsius seperti di Beijing, Tiongkok. Tentu gerah banget.

Pada kondisi suhu panas biasanya udara terasa kering. Nah, beruntungnya kita hidup di daerah tropis, negeri kita kaya segala-galanya. Angin bertiup sepoi-sepoi, semilir, menyejukkan. Walau ada juga daerah tertentu yang dihantui ancaman serangan angin puting beliung.

Pepohonan di negeri kita juga terjaga kerimbunannya. Kluster perumahan di kota-kota besar pun sudah sadar lingkungan. Peduli pada keindahan lansekap. Dibangun danau buatan, pohon pelindung dan taman yang asri. Di pedesaan lebih hijau lagi karena hutan yang lebat.

Jadi, sepanas-panasnya cuaca negeri kita seperti yang terjadi setiap matahari berada di sebelah utara garis khatulistiwa pada bulan Mei, tidak terlampau khawatir karena paling juga berkisar satu pekan, sesudah itu, ya, berakhir dan berlalu. Kembali ke kehidupan normal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...