Langsung ke konten utama

Doa yang Dilangitkan

Tadi malam tahlilan 40 hari atas berpulangnya imam masjid kami, Drs. Asrori Abu Hanifah. Beliau wafat Sabtu, 6 Mei 2023 pagi, tepat dua pekan usai Idulfitri.

Tahlilan 40 hari, tepat dua pekan sebelum Iduladha. Waktu salat Idulfitri kami jemaah masjid masih bersama dengannya, salat Iduladha sudah tidak.

Pada suatu kultumnya sebelum salat Tarawih, beliau menghidangkan pesan, siapa tahu Ramadan kali ini adalah Ramadan terakhir bagi kita. Apa yang terjadi?

Ya, siapa yang tahu. Ternyata Ramadan tahun 1444 H. ini adalah yang terakhir baginya. Kematian adalah keniscayaan yang pasti terjadi. Hanya soal waktu.

Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pun tidak tahu, apalagi kita umatnya. Menyiapkan bekal buat sangu di akhirat, itu yang kita tahu bagaimana caranya.

Yaitu, memperbanyak amal ibadah. Taat pada apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata'ala. Dengan cara masing-masing.

Paling tidak dua dari tiga hal pokok bisa diselesaikan di waktu kita masih hidup. Yaitu, sedekah jariah dan mengajarkan/mengamalkan ilmu yang bermanfaat.

Kelak hal ketiga adalah sebagai penyempurna. Yaitu, doa dari anak yang salih dan salihah. Dua hal pokok pertama kita kerjakan untuk dan atas nama sendiri.

Juga bisa (bagian dari anak salih dan salihah), kita kerjakan untuk dan atas nama ibu bapak kita yang sudah berpulang, agar menambah pahala mereka.

Tiga hal pokok yang pahalanya akan terus mengalir tak putus-putus bak air sungai. Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang salih/salihah.

Rasanya, tigal hal pokok di atas, sempat dikerjakan oleh beliau. Bersedekah, mengamalkan ilmu dengan menjadi khatib, dan mendoakan dua orang tuanya.

Kini, beliau menuai pahala dari amal baiknya, baik yang beliau lakukan sendiri maupun persembahan dari anak-anak beliau, yaitu doa yang dilangitkan.

Ilustrasi foto dari facebook usb_bakery


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...