Langsung ke konten utama

Jalan Jodoh

Tiga bulan seusai pernikahan putrinya (12/3/2023), kemarin ia bertandang ke rumah. Cerita tentang banyak hal yang sebenarnya begitu-begitu saja.

Yang menarik, ia melabrak sebuah keluarga di suatu alamat (rahasia). Keluarga itu menyandera putrinya untuk dinikahkan dengan anak lelaki keluarga itu.

Cara demikian adalah salah satu model (rupa) adat lampung, katanya. Apa pun alasannya, ia tidak suka dengan cara seperti itu. Putrinya ia bawa pulang.

Malam harinya, keluarga si cowok menyusul ke rumahnya, rombongan tiga mobil. Meminta maaf dan ingin damai. Juga menginginkan putrinya.

Ia terima permintaan maaf, tetapi ia tolak keinginan mengaitkan si cowok dengan putrinya dalam ikatan perkawinan. "Mereka cukup temanan saja," katanya.

Sahdan tiga pekan dari itu, putrinya nembung bahwa ada temannya cowok hendak main ke rumah. "Ayah jangan marah-marah seperti kemarin," pintanya.

"Kalau datang dengan niat baik, dengan tata cara baik, bicara baik-baik, ayah tidak masalah," jawab ayahnya. "Asal sopan, ayah terima dengan baik."

Benar saja, si cowok datang didampingi seorang kawan. Pada mulanya si kawan yang membuka obrolan maksud kedatangan mereka bertandang.

Disambung si cowok nembung bahwa ia punya niat serius terhadap putrinya. "Ya, saya tanya dahulu putri saya, apakah dia mau dan bersedia," jawabnya.

Terhadap pemuda yang mengidamkan seorang gadis untuk jadi pasangan hidupnya, itu sebuah jawaban klasik yang umum disorongkan seorang ayah.

Nah, ini menarik. Sepertinya si cowok kesengsem dengan putrinya dan ngebet banget untuk segera memboyong keluarganya melamar secara resmi.

"Nanti dahulu, saya mau bicara dahulu dengan putri saya. Kami perlu persiapan, musyawarah dengan kerabat yang lain. Butuh sedikit waktu," tegasnya.

Tampaknya ia santai menyikapi keinginan si cowok yang barangkali kebelet rabi. Kontradiktif dengan si cowok dan keluarganya yang "siap berangkat."

Benar saja, menurutnya, keesokan harinya ibu si cowok menelepon istrinya, menanyakan bagaimana kelanjutan anaknya yang kemarin datang nembung.

Akhirnya ia musyawarah dengan keluarga besar, dan disepakati kapan waktu yang tepat pihak keluarga si cowok bisa datang dan akan diterima secara baik.

Singkat cerita, rembug keluarga diselesaikan dengan cepat. Tidak lama dari acara lamaran langsung persiapan menggelar hajat pernikahan dan pesta.

Akhir cerita, menantunya yang sewaktu nembung ngakunya sebagai anak petani, memang benar. Petani yang bukan kaleng-kaleng. Petani sawit, Bro.

Menantunya juga seorang bussinessman ternyata. Punya SPBU, ayam petelurnya 15.000 ekor, ATM mini yang ia operasikan 46 unit. Wuih, wong sugih jebule.

46 unit ATM itu tersebar di sepanjang jalan lintas sumatra dari Kalianda hingga Palembang. Terutama di rest area untuk melayani top up e-toll pengguna tol.

Jalan jodoh tidak akan salah alamat, asalkan tepat. Meski sudah disandera ala adat lampung, tetapi kalau jalannya salah ya nggak akan nyampe alamat.

Kegaliban, keluarga cowok datang melamar. Itu pun belum tentu diterima lho, apalagi main sandera. Alasan adat, ya nggak harus sedemikian dijalankan.

Pembenaran adat menurut akal belum tentu benar menurut hati (perasaan) orang lain. Anak gadis orang elo sandera, orang tuanya takut digunjingin tetangga.

Cari dan temukan opsi terbaik, tidak hanya menurut akal, tetapi juga menurut hati. Kalau ada jalan lurus mengapa harus berliku-liku. Begitu narasinya.

Ilustrasi foto hasil nyomot di laman (fan pagefacebook "Jalan jodoh"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...