Langsung ke konten utama

Duka Ungu

Cemmana, Lae, yang laen pada tahlilan kok ini orang-orang pada ngobrol. Behavior mereka itu gak masuk akal kok begitu buruk. Kok yo kebangetan tenan lho.

Kita ini lagi suasana duka, Bro. Kenapa kelen kok raono simpati dan empati blas. Cubo dirasakno jika kelen yang ketiban musibah kematian. Piye kiro-kiro.

Rumangsamu, amargo dudu awakmu sing kenang musibah njur sakpenakmu ngobrol, ngguya-ngguyu, mangan kue masio tahlilan durung bar dan disilakan.

Dukaku ungu, ngono perasaanku. Awak-awakmu iku dungu! Ngerti? Kenapa saya katakan dungu? Karena attitude kelen yang menganggap sepele rasa duka.

Sudah ngobrol, ngguya-ngguyu, mangan kue... eh, ngudud lagi. Itu tuh paling nggak bisa saya mengerti, kenapa di tempat tahlilan orang-orang klepas-klepus?

Ini tahlilan niga hari. Amanat beliau bahwa tahlilan cukup tiga hari, tidak usah sampai nujuh. Pasalnya, anak menantu beliau ada yang bekerja di luar kota.

Biar tidak terlalu lama izin meninggalkan pekerjaan. Bila hanya sampai niga, mereka bisa secepatnya kembali ke tempat mereka bekerja untuk ngantor.

Walaupun ada dispensasi izin untuk hal-hal yang bersifat darurat dan urgensi, tetapi yang namanya integritas harus tetap ditegakkan oleh seorang ASN.

Karena tahlilan cuman sampai tiga hari, di malam niga hari ini jumlah pentakziah membeludak. Lebih kali 300 orang, dibanding pada malam-malam sebelumnya.

Ya, malam pertama sekira 150 orang, malam kedua mungkin 200 orang. Tidak dihitung secara persis sekian gitu. Tetapi, pada niga hari lebih banyak lagi.

Faktor mantan pejabat yang membuatnya begitu. Kakanwil Kemenag, Rektor UIN RA, dan jajaran pegawai Kemenag lainnya dan tokoh apa pun hadir.

Balik lagi ke polah bar-bar pentakziah yang ngguya-ngguyu di atas, orang kalau dari pembawaan diri atau kebiasaan (habit)-nya kurang menjunjung etika gitu.

Di mana berada atau ke mana pergi, habit itu akan terbawa. Di luar kesadarannya, ngguya-ngguyu dalam suasana duka pun pancet wae mereka lakukan.

Itulah yang disebut watak. Watuk (batuk) banyak obatnya di apotek. Tetapi, watak (yang meriang atau sakit) susah nyari obatanya, bahkan nggak ada obat.

Ini foto suasana tahlilan hari/malam pertama. Saya nggak tega mau moto orang yang ngobrol di hadapan saya pada waktu tahlilan hari/malam ketiga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...