Langsung ke konten utama

Ogah Mburi Imam

"Awas roboh," kata ketua takmir masjid jami' Al-Anshor, BKP, ketika saya mengambil posisi duduk dekat tiang penyangga kubah masjid, saat salat jumat. Guyonan Pak Syafuan itu saya sambut dengan tawa. Kami pun bersalaman. Kami bertetangga di perumahan.

"Orang berebut pengin di shaf pertama, kok ini nyari senderan di tiang," lanjutnya. Memang, shaf pertama lebih afdal karena pahalanya lebih besar. Saya ambil posisi dekat tiang bukan karena penyin nyender, melainkan posisi itu pas dengan posisi AC di tembok masjid.

Kalau di masjid Ikhlas Al-Azhar dekat rumah, saya biasanya di shaf pertama dekat imam dan khatib. Salat lima waktu kalau tidak jadi imam, saya di posisi itu atau di belakang imam. Agak aneh ketika "teman jalan subuh" saya ogah banget mengambil posisi tersebut.

Entah apa alasannya. Pokoknya nggak mau aja. Boro-boro jadi imam, tepat di belakang imam saja ogah. Kalaupun mau di belakang imam, tapi di shaf kedua. Seperti ada ketakutan yang tidak pula ia kemukakan. Padahal, ia pensiunan guru matematika yang mestinya logic.

Nah, logikanya karena apa ketakutan itu, tidak tertebak oleh saya. Subuh tadi nggak mau ia mengisi ruang kosong di belakang imam, sampai-sampai imam berseloroh, "Dikosongin aja apa ini, sambil menunjuk ruang kosong tersebut." Padahal ia tinggal melangkah.

Sekiranya ia cepat melangkah mengisinya, tidak akan imam sampai berseloroh seperti itu. Akhirnya jemaah lain maju mengisinya. Tidak tepat lurus dengan imam, padahal. Masih agak di sebelah kiri. Problem itu karena ada satu jemaah yang ogah geser dari tempat duduknya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...