Langsung ke konten utama

“Keris Paku” Buatanku

Ilustrasi, keris, keris, keris. (image source: detik.com)

Pagi ini, tiba-tiba saya teringat sebuah peristiwa hampir setengah abad silam. Tatkala saya panaskan paku besar lalu menmpanya di atas batu, membentuk sesuatu yang tanpa bentuk, hanya besi tempa lurus belaka. Bukan membentuk kelok sehingga menyerupai keris sungguhan.

Itu ketika saya masih SD. Besi hasil tempa yang tidak berbentuk apa-apa itu saya beri gagang dan dibuatkan sarung sekalian dari kayu. Saya taruh saja di meja belajar masa SD itu. Ketika kakakku (saya panggil Cék) merantau ke Jogja menyusul Abang yang sudah duluan merantau.

“Keris paku” buatanku itu, tanpa saya ketahui, dibawanya. Untuk jelasnya, peristiwa tahun 77an. Abang sudah sudah rasan-rasan, jika Cék hendak nonton Sekatenan bareng saja. “Nggak ikut,” kata Cék. Abang berangkat bersama kawan indekos lainnya ke alun-alun utara Jogja.

Tanpa Abang ketahui, Cék menyusul pergi sendirian dengan menggowes sepeda onthel. Tahun 70an hingga 80an sepeda onthel merupakan kendaraan masal si Jogja. Tidak semua perantau memilikinya. Bukan karena mahal dan tak terbeli, melainkan ada hal lain yang lebih prioritas.

Sesampai di alun-alun, tanpa sengaja, Cék menginjak sandal salah seorang pengunjung, kebetulan cowok. Sandal jepitnya putus tali dan minta ganti. Tiga orang mengerumuni Cék sambil marah menunjuk-nunjuk. Tak hilang akal karena merasa terjepit sendirian, Cék bertindak.

Dicabutnya “keris paku” yang ia selipkan di piunggang, tangannya yang menggenggam “keris paku” disembunyikannya di belakang pinggangnya. Rupanya mata tiga orang itu jeli. Mereka melihat Cék menggenggam sesuatu di balik pinggangnya. “Ayo, maju sikok-sikok,” tantang Cék.

Barangkali mendengar bahasa dan logat bicara Cék yang terdengar aneh di telinga mereka, ketiga orang itu memutuskan kabur meninggalkan Cék. “Ayo, melayuwong Sumantera iku,” Mungkin begitu kata salah satu dari mereka bertiga. Cak itu tukalu uji wong Pelembangngeciki balak.

Cék juga bergegas meninggalkan TPK. Dikayuhnya sepeda onthel pulang ke rumah indekos. Ia langsung tidur. Besok lusanya, ia cerita ke Abang dan kawan-kawan indekos. “Astaghfirullah, gila kau,” kata Abang. Kawan-kawan indekos mereka yang lain hanya terpingkal-pingkal.

Peristiwa itu diceritakan Abang kepada saya. “Itu keris paku, saya yang bikin,” kata saya kepada Abang. Teringat peristiwa itu, saya tulis ini untuk diposting di blog. Juga 60 larik puisi berhasil saya ciptakan untuk menziarahi kenangan purba yang lucu dan absurd, setengah abad silam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...