Langsung ke konten utama

Ruwahan, Akar Budaya

Ilustrasi, ruwahan di masjid (Pemprov Kepulauan Bangka Belitung) 

Setelah tujuh malam berturut-turut tahlilan –(tadi malam nujuh-hari), berakhir sudah ritual takziah dalam konteks tetangga menghibur sahibul musibah dan sahibul musibah bersedekah dengan menyiapkan suguhan air mineral dan kue jajana pasar dalam kotak kue.

Senin malam karena hujan tak bersahabat, saya dan istri tidak berangkat. Alasan lain di samping hujan, saya ada undangan di rumah ketua takmir masjid. Beliau sekeluarga mengirim doa kepada almarhum/mah orang tua sekalian ruwahan menyambut puasa.

Ruwahan, sebuah tradisi yang mengakar dalam kehidupan warga perdesaan. Di kota bersalin wajah menjadi doa bersama di masjid dengan membawa nasi kotak atau besek. Di masjid kami, ada semacam ‘kewajiban’ tiap rumah membawa dua nasi kotak atau besek.

Setelah doa bersama ‘diaminkan’ nasi kotak atau besek dibagikan kepada jemaah yang hadir. Terjadi pertukaran saling silang nasi kotak atau besek yang dibawa tadi. Ada yang menyetor nasi kotak tapi akhirnya kebagian besek (sebaliknya). Apa pun, happy aja dulu.

Yang sialan dan gak masuk akal adalah orang yang datang tidak membawa apa-apa (nasi kotak tidak, besek pun tidak), tapi pulang membawa nasi kotak atau besek (tergantung apa yang diperolehnya). Ujungnya, ada yang gelo, datang membawa, ketika pulang zonk.

Doa bersama kemudian bersalaman maaf-maafan agar sekiranya ada dosa jadi terhapus. Ketika datang tidak membawa apa-apa itu, menjadi semacam perbuatan zalim, bukannya menghapus dosa justru menambah dosa. Bagaimana kalau tidak berpuasa, apa jadinya?

Di samping nasi kotak atau besek itu, sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun, setiap rumah (KK) mengirim kue atau minuman (es, cendol, dawet, bubur, dlsb.) ke masjid untuk buka puasa petugas masjid yang akan membunyikan alarm tanda beduk buka puasa.

Ada juga rumah tangga yang tidak mengirim, entah alasannya apa. Kalau umpamanya kelupaan, okelah dimaklumi dan dimaafkan. Tapi, kalau sengaja lupa lalu pura-pura lupa, lagi-lagi menjadi semacam perbuatan zalim. Tidak menghargai kesepakatan warga.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...