Langsung ke konten utama

Bahlulnya Bahlul

Warga antre gas melon di agen resmi Pertamina, Sudimara, Cileduk, kota Tangerang, Senin (3/2/2025). (foto: RM.ID)

Mau ikut-ikutan orang di twitter (X) ngomongin ia bahlul, jadi ikut-ikutan berdosa. Tapi, mau apa dikata, kenyataannya memang begitu. Masak regulasinya belum dibikin programnya sudah digulirkan. Terang saja netijen ramai-ramai bersuara di twitter sehingga jadi trending topik.

Viral berita seorang ibu di Tangerang Selatan meninggal karena antre gas melon. Faktanya tidak benar begitu. Ibu itu membeli gas di pangkalan dan tidak ada antrean. Kalaupun ada korban, bukan karena antrenya yang jadi titik tumpu penyebab kematian.

Apa pun alasannya, mati adalah takdir. Tapi, ketidakwajaran yang jadi soal. Karena kecapekan antre gas atau antre apa pun, itulah soalnya. Sudah jamak terjadi, dahulu zaman antre minyak goreng juga ada yang sampai meninggal dunia karena kelelahan.

Antre apa pun akan jadi beban psikologis bagi masyarakat yang rentan dihinggapi rasa galau, waswas, takut, khawatir, dan emosional yang sulit dikendalikan. Amarah dan rasa kesal yang ditahan atau membuncah jadi caci maki, sangat mengerikan, mengganggu irama jantung para lansia.

Keberadaan pengecer tidak bisa ditiadakan dalam sistem distribusi produk dan jasa. Jasa ekspedisi bila tak ada kurir mana mungkin bisa berjalan usahanya. Kurir mempercepat sampainya barang dari pengirim (penjual) kepada penerima (pembeli). Begitu juga pengecer.

Si Bahlil apa tidak mengerti keterjangkauan antara warung tetangga (pengecer) dengan konsumen yang telah berlangsung selama ini, adalah hal yang nyaman dirasakan masyarakat. Jika keberadaan pengecer dihilangkan, maka beban kerja masyarakat mencapai pangkalan bertambah.

Warung Madura yang buka 24 jam hingga hari kiamat, telah jadi andalan masyarakat yang butuh sembako, gas melon, bahan bakar kendaraan, pulsa, dll. dengan jangkauan yang representatif. Sementara status mereka tak lebih sebagai pengecer barang serba ada yang murah meriah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...