Langsung ke konten utama

Problema Bermata Empat

 

Lembiru, lempar beli baru

Bangun tidur Kamis siang, saat akan memakai kacamata, tetiba lensanya jatuh sebelah. Ternyata gagang (frame) kacamata patah. Tak terbayang bila terjadi ketika sedang berkendara di jalan dan lensanya jatuh ke aspal. Beruntung saat kejadian pas di rumah. Beruntung pula kacamata lama masih bisa dipakai sementara sebelum ke optik ganti kacamata baru.

Kacamata adalah alat vital bagi orang yang sudah rabun apalagi berusia senja seperti saya, di samping alat vital yang satu itu. Mata minus atau disebut rabun senja harus dibantu dengan kacamata minus agar penglihatan bisa seperti mata normal pada umunya. Bagi orang yang di samping minus ada pula plus, dibutuhkan kacamata berlensa dobel (plus-minus).

Lensa (glass) kacamata lama saya jenis Biometric Progressive Lenses dari Rodenstock. Lensa khusus yang minus dan plus tidak kelihatan batasnya sehingga sekilas seperti kacamata minus saja. Sementara gagangnya (frame) dari besi. Sedangkan kacamata yang patah, baik lensa maupun gagang dari plastik, sangat rawan harus dirawat sangat ekstra.

Ekstra bahkan harus hati-hati karena lensa plastik rentan terkena goresan. Sebelum kacamata yang patah ini, saya sudah pernah punya kacamata yang baik lensa dan frame dari plastik. Lensanya jadi seperti pecah seribu (istilahnya), tak urung menjadi buram membuat penglihatan saya kurang terang, jalan keluarnya lembiru (lempar beli baru), eh....

Problema bermata empat seperti saya tentu dirasa pula oleh orang lain. Bagi yang terbiasa mungkin tidak menjadi kendala, tapi yang tidak atau kurang biasa, akan merasa terganggu. Mata saya terdeteksi minus saat kelas 2 SMA tahun ’80. Agaknya, faktor hobi baca jadi sebab. Nah, keberadaan gawai membuat mata anak-anak cepat sekali berubah menjadi minus.


        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...