Langsung ke konten utama

Tanda Uzur Seseorang

Angkringan Nyonyaa, ada live music, boleh request lagu atau ikut nyanyi.

Jumlah umur banyakan saya, tapi ia menang banyak dalam hal jumlah uban. Begitulah kira-kira peribahasanya. Pagi tadi ketemu ia sedang mengecek pesanan kayu untuk tanda cungkup makam dan papan penapis pada liang lahad.

Yang meninggal ibu kolega mereka sesama guru. Aneh, ia tidak memberitahukan hal itu kepada saya. Bila ia beritahu, tentulah saya sampaikan kabar duka itu kepada istri karena yang wafat itu ibu dari kawannya mengajar.

Itulah salah satu tanda makin uzur umur seseorang, yaitu mulai teledor. Alpa akan hal yang mestinya sesuatu yang patut diceritakan. Tapi, itu tadi, tanda-tanda makin menua, mulai tidak fokus pada hal-hal yang urgensif.

Alhasil saat pukul 08:06 teman istri tanya via WhatsApp hendak melayat apa tidak, baru terbaca selang satu jam kemudian. Saya dan istri pun lekas berangkat ke rumah duka yang berjarak sekira 500 meteran dari rumah.

Sampai di TKP saya panggil beliau, “Kok tadi nggak ngasih tahu kalau yang meninggal ini ibunya Sari?,” ujar saya. Ia tampak berekspresi kebingungan, berpikir. Tak lama ia berkata, “Ya, juga, ya. Nggak kepikiran saya,” jawabnya.

Jadi, tanda uzur seseorang itu mudah sekali dikenali. Mulai pelupa dan sering bingung pada hal sepele, itu salah satu indikasi bahwa telah terjadi gangguan memori sehingga daya ingat sesorang mengalami kemunduran.

Maka, agar memori saya tetap terjaga, rutin membaca adalah salah satu yang saya lakukan. Sering keluar rumah cara lainnya –ke mana sajalah– tidak harus ke mal, motoran berjalan terus pun akan lebih banyak yang dilihat.

Cara lain adalah menulis. Apa yang saya baca dan lihat, sedapat mungkin dituliskan. Ini tadi barusan pulang dari nongki di “Angkringan Nyonyaa” berbaur dengan muda-mudi yang sedang malam mingguan. Menyenangkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...