Langsung ke konten utama

Andaipun Bukan Juara

Dua buku bergizi

Bagaimana sih agar bisa menulis? Pertanyaan seperti itu acap terlontar dari mereka yang menganggap dirinya tidak bisa menulis. Padahal, bisa saja dalam dirinya terendap potensi untuk jadi seorang penulis. Kuncinya, mau mengeluarkan potensi yang terendap itu dengan menggalinya, dengan cara mencoba.

Atas pertanyaan seperti di atas, tidak ada jawaban yang tepat benar. Satu-satunya cara untuk jadi penulis, ya, menulislah. Tulis saja, tentang apa saja. Intinya, melakukan, jangan hanya berhenti di pertanyaan kok bisa, ya, seseorang itu bisa menulis dan tulisannya enak dibaca. Jangan berhenti di keinginan.

Kemarin beberes buku-buku yang sewaktu mau hajatan bulan Januari lalu disingkirkan di rumah sebelah, tak menduga ternyata ada buku “15 Naskah Terbaik Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) 2012” dan “13 Naskah Terbaik Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) 2012” yang isinya memantik kekaguman saya.

Disaat mengikuti lomba menulis itu mereka masih SD dan SMP atau rata-rata berusia 10—13 tahun dan menariknya, menurut pengakuan mereka, sudah hobi baca sejak mengenal huruf. Ada juga yang mengaku sejak TK sudah baca KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya), yaitu kumpulan karya penulis cilik usia 6—12.

Dalam buku LMCR dan LMCA di atas, ada penulis yang karyanya sudah diterbitkan jadi buku belasan judul. Bahkan ada yang bukunya berhasil cetak ulang, suatu hal yang amat tidak mudah menggapainya. Jangankan cetak ulang, laku dijual saja sudah sangat menyenangkan sebagai reward melahirkannya.

Okey-lah, melahirkan karya sastra dan terbit menjadi buku –meski lewat penerbitan indie– barangkali bukan hal yang sulit. Tetapi, laku dijual itu angan dan harapan yang diam-diam tersimpan di pikiran semua penulis. Menjadi hal yang menyemangati ketika membaca keberhasilan peserta LMCR dan LMCA.

Lantas, apa dong yang membuat seseorang sudah jadi penulis sejak masih cilik sehingga masuk kategori penulis cilik? Tentu berangkat dari tertarik pada karya sastra, punya hobi baca dan memiliki akses untuk mendapatkan bahan bacaan, kalaupun tidak toko buku, ya, perpustakaan (sekolah) pun jadilah.

Kemudian, menulis. Ya, menulislah untuk bisa jadi penulis. Mengapa para penulis cilik itu bisa? Kuncinya barangkali mereka mencoba. Tentu saja tidak hanya sekali dua-kali mereka mencoba, tetapi berkali-kali hingga akhirnya mahir. Mengirimkan tulisan ke media juga tidak sekali dua-kali.

Mengikuti lomba pun begitu. Walaupun tidak menang, lolos jadi nomine pun jadilah. Tidak berhenti di kegagalan sekali. Gagal kali ini dicoba lagi, siapa tahu yang kesekian kali baru mendapat predikat juara. Andaipun bukan juara 1, juara harapan sekalipun lumayan buat nambah-nambah prestasi.

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...