Langsung ke konten utama

Willingness to Write

Ilustrasi, dalam menulis dibutuhkan referensi

Sebuah video masuk ke WAG yang saya jadi bagian di dalamnya. Video yang menyarankan agar jangan hanya berdiam di rumah, tetapi pergi keluar (ke mana kek), ke rumah kawan bersilaturahim, mengobrol, berinteraksi agar tetap sehat. Jangan rebahan, malas bergerak.

Pergi bertamu ke rumah kawan, silaturahim, mengobrol niscaya pikiran menjadi fresh. Benar juga, bila hanya berdiam saja di rumah tentu lama kelamaan pikiran akan suntuk. Kesuntukan tidak ada obat selain berinteraksi dengan orang lain, kawan akrab lebih afdal.

Ada lho orang yang merasa setelah bebas dari kesibukan bekerja, setelah pensiun saatnya istirahat panjang, maka berdiam di rumah lebih banyak dilakukan. Seminggu, sebulan, mungkin tidak ada pengaruh, mereka tetap enjoy saja. Tapi, setelah itu niscaya berdampak.

Dampak psikologis atas tiadanya kesibukan, lama kelamaan muncul rasa jenuh dan tidak nyaman. Akhirnya, keluar rumah pun merasa “kesepian di tengah keramaian” karena sudah telanjur “nyaman” merasakan enaknya jadi pensiunan, bebas kesibukan, tak ada beban.

Siang tadi silaturahim saudara di Way Halim. Selepas Zuhur kami pergi makan di luar lalu menyelesaikan suatu urusan dan pulang. Selepas Asar datang tamu seorang bapak pensiunan dosen di UT. Kami mengobrol, hujan turun basahi tanaman di halaman.

Melihat bapak pensiunan itu, saya teringat video yang di-share kawan di WAG yang menganjurkan keluar rumah. Bapak tadi sedang mempraktikkan anjuran Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya, bersilaturahim agar panjang umur dan murah rezeki.

Setelah si bapak tadi pamit pulang, saya berujar pada saudara, “Seperti itulah kalau pengin sehat. Pergi keluar (ke mana kek), ke rumah saudara atau teman, bersilaturahim, mengobrol ketawa-ketawa agar hormon dopamin keluar memicu perasaan bahagia muncul, membuat tubuh lebih sehat.”

Saudara itu membenarkan ujaran saya. Mereka berdua suami istri yang sudah ditinggal anak-anak yang mentas dan bekerja di kota lain, mengisi hari-hari pensiunnya dengan keluar (ke mana kek), makan di mana kek, beribadah di masjid mana kek sambil sekalian untuk cari makan siang atau malam.  

Willingness (kemauan) merupakan modal utama bagi seseorang untuk menggerakkan dirinya mencapai sesuatu. Keluar rumah seperti bapak tadi, kalau tidak ada kemauan. Silaturahim ke rumah saudara atau kawan, bila tidak ada kemauan tentu tidak akan pernah terlaksana, mandeg sebagai angan.

Begitupun menulis tentang apa pun untuk saya posting di blog ini, bila tidak ada willingness tentu akan zonk. Nah, untuk tetap kontinyu dan konsisten tentu saya harus memiliki bahan tulisan. Maka, dengan keluar (ke mana kek) saya coba mengamati, mencari referensi untuk mendapatkan bahan tulisan blog ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...