Langsung ke konten utama

Status di Facebook


Perihal mengunggah tulisan (disebut status) di laman facebook, ada yang rajin sekali, yang jarang-jarang, dan ada pula yang tidak pernah sama sekali. Saya termasuk yang, bukan sekadar yang jarang-jarang, melainkan yang jarang sekali. Bahkan, saya pernah log out facebook selama setahun penuh. Betah, ya!

Kendatipun rajin menangkap berbagai momen saat wisata (kuliner) dengan kamera ponsel, tapi hanya buat menuh-menuhi memori hp doang. Sama sekali tak mengunggahnya di laman facebook. Agak sering unggah di Instagram, X (dahulu twitter) atau Thread.

Padahal, tiga biji platform media sosial milik Meta (facebook, Instagram, dan Tread) ini ditengarai mulai ditinggalkan orang di Amerika. Ada sebagian orang menganggap platform media sosial yang paling toxic adalah facebook. Benarkah begitu? Alasannya apa?

Tentu, sah-sah saja menyangkal. Niscaya sebagian orang lain akan menganggapnya tidak. Karena itu, senang belaka main facebook, betah deh men-scroll berjam-jam dan bila menemukan akun politis akan mengirim link-nya ke WAG, berapa pun banyaknya WAG tempatnya digabungkan. Dikiriminya semua.

Atau mengunggah status dan foto pribadi hasil selfi atau bersama keluarga besar, dengan maksud untuk menjadikannya bagasi ingatan (seperti yang kemarin telah saya tulis di postingan blog ini) untuk menjadi kenangan di masa yang akan datang bila kelak oleh facebook diingatkan kembali pernah membuat itu.

Perihal yang ini, saya lakukan selumbari, 12 Juni. Saya tulis "sehat selalu kita" di atas fase waktu 1993--2025 pada foto saat kami pulang dari menghadiri perayaan Hari Puisi Nasional di Teater Kecil TIM, 28--29 April 2025, sebagai penanda wedding anniversary kami.

Lalu, apa kata facebook? Dalam notifikasi (terlihat di tanda lonceng), "Cerita terakhir Anda mendapat 40 tayangan sebelum kedaluwarsa. Anda bisa membuat cerita baru." Nah kan, nggak banyak-banyak amat yang suka dengan status gue. Makanya gue jarang bikin status. Sudah untung nggak saya log out.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...