Langsung ke konten utama

Pentigraf #1 (bagian 2)

Ilustrasi (gambar: KBM App)

Setelah pdf pentigraf jilid 1 dikirimkan ke WA saya 17 Mei pukul 01.17 dinihari, tadi pagi sekira pukul 08.17 dikirim lagi pdf jilid 1 yang berbeda format dengan yang dikirim pertama. Pada pdf yang pertama, kami berdelapan yang naskahnya masuk. Yang kedua ini, kami berempatbelas. Ada tambahan enam orang.

Admin (narahubung) even minta agar dikoreksi dan diberikan apresiasi. Setelah saya buka, naskah saya ditaruh di halaman 411. Lumayan lama buat scroll menemukannya. Saya perhatikan, hingga sepulang dari salat Zuhur di masjid, tak satu pun dari kami berempatbelas itu yang memberikan tanggapan.

Sementara ada 6 peserta baru dimasukkan ke jilid 2, juga di-share pdf-nya. Benarkah nanti skenarionya seperti itu hingga bukunya jadi? Apakah bukunya benar-benar akan jadi? Ditanyakan kepada angin, kepada awan, kepada ombak bahkan rumput yang bergoyang pun belum tentu tahu jawabannya.

Baiklah, lewatkan saja dulu pentigraf ini. Satu antologi puisi ditaja komunitas "Ruang Sastrawan Indonesia" dengan tema "Swara-Swara Anak Pulau -- Pewaris Sah Republik Indonesia", malam tadi dirilis cover depan & belakangnya (memuat nama peserta), minta peserta mengoreksi apakah namanya ditulis benar atau salah. Repot bila telanjur jadi buku.

Upppsss... penulisan nama saya keliru, langsung saya minta dibenari. Perbaikan oleh tim layout percetakan (sepertinya langsung dilakukan) atau mungkin baru dilakukan pagi hari. Yang jelas, diberi tenggat hingga pukul 09 baru kemudian naik cetak. Ohoi... satu buku akan mewujud nyata. Menunggu tiba di teras rumah.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...